Epidemi HIV/AIDS Mengarah ke Anak-anak Muda
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tanpa intervensi, angka penderita HIV/AIDS bisa mencapai 2,5 juta jiwa pada 2025. Bisa dibayangkan laju peningkatannya jika pada 1997 “baru” terdapat 198 orang terinveksi virus HIV, dan kemudian pada 2007 melonjak hingga 8.988.
”Jumlah itu mungkin membengkak, karena masih banyak orang yang tidak mengetahui ia terinfeksi HIV. Atau, bahkan mereka menutupi kenyataan yang ada,” ujar Esthi Susanti Hudiono (54), aktivis penanganan penderita HIV/AIDS dari Yayasan Hotline Surabaya kepada satuharapan.com, Jumat (29/11)
Peringatan Hari AIDS Sedunia mengingatkan banyak orang pada sosok Esthi. Ia adalah generasi pertama aktivis HIV/AIDS di Indonesia. Membolak-balik kisah hidupnya, sama saja dengan membuka catatan sejarah tentang perkembangan virus HIV/AIDS di negeri ini.
Esthi, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, tak pernah meluruh semangat berkecimpung dibidang itu, demi menegakkan rasa kemanusiaan, kadang di tengah kritikan, bahkan ancaman dan korban materi.
Bila tidak ada gerakan cepat, Esthi menegaskan, ramalan adanya ledakan HIV/AIDS bisa menjadi kenyataan. Apalagi, epidemi sekarang mengarah ke anak-anak muda. “Anak di bawah usia 18 tahun yang kami dampingi sudah ada yang positif dua anak,” kata Esthi, yang pernah berkarya sebagai jurnalis dan guru.
“Di luar negeri prevalensi di kalangan anak muda juga meningkat, justru setelah berhasil mengendalikan epidemi. Kampanye menjadi kendor,” ia menjelaskan.
Kampanye harus dilakukan terus menerus karena selalu ada anak muda yang baru yang butuh informasi. Selama ini komunikasi informasi dan edukasi (KIE) dilakukan oleh media massa dan LSM. Masalahnya, menurut Esthi, karakter media massa adalah mencari isu baru, sementara KIE yang diberikan terus menerus ke masyarakat tidak bisa dilakukan karena tidak ada lagi unsur barunya.
“Yang dilakukan selama ini hanya mengambil angle yang berbeda. Karena itu LSM maupun pemerintah memiliki kewajiban memberikan KIE ke anak muda agar mereka memiliki perilaku yang bertanggung jawab ke diri sendiri dan pasangannya,” Esthi menjelaskan.
Pendidikan Seksualitas
Esthi, yang telah mengantongi berbagai penghargaan atas ketekunannya menangani pendeita HIV/AIDS sangat menganggap penting ada pendidikan seksualitas ke anak.
Selama ini, yang diberikan adalah pendidikan kesehatan reproduksi. Padahal, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah dua hal yang berbeda meskipun memiliki aspek yang sama. Selama ini dunia pendidikan, termasuk pendidik, masih sensitif dengan istilah seksualitas. Pandangan yang dipegang, seksualitas ada di dalam perkawinan. Di luar perkawinan tidak ada seks sehingga tidak ada program yang dikembangkan.
“Seharusnya seksualitas didefinisikan bukan dalam perkawinan, tetapi berdasarkan kenyataan perubahan fisik yang ada dalam diri setiap orang. Dunia pendidikan harus mengubah pola pikirnya. Selama ini, dunia pendidikan selalu mengelak dan menyerahkan urusan pendidikan seksualitas ke orangtua. Celakanya, orangtua tidak tahu cara memberi pendidikan seksualitas,” Esthi menambahkan.
Esthi mengawali aktivitasnya di bidang penanganan penderita HIV/AIDS pada awal 1990, dengan membuka biro konsultasi melalui telepon di sebuah harian di Surabaya. Ia punya andil mengusulkan payung hukum Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur.
Perda itu kemudian jadi percontohan dan diikuti seratus kabupaten/kota lain serta tujuh provinsi. Berkat itu pula Esthi mendapat penghargaan Surabaya Academy Award sebagai warga teladan. Penghargaan lain yang ia terima ialah SK Trimurti Award dan Kartini Award dari Universitas Airlangga.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...