Eva: Separuh Eksil Berkeinginan Meninggal di Indonesia
SEMARANG, SATUHARAPAN.COM – Separuh dari total warga eksil Indonesia yang hidup tersebar di Eropa Barat setelah peristiwa 1965 berkeinginan meninggal dunia di Tanah Air, kata Wakil Ketua Pengaduan Masyarakat Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Eva Kusuma Sundari.
"Saya bertemu dengan para bapak tersebut dan menjadi saksi kegetiran mereka yang terjepit pilihan-pilihan sulit," kata Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia) DPR RI ketika dihubungi dari Semarang, Kamis pagi (5/12).
Eva menegaskan kembali bahwa mereka sangat ingin meninggal dunia di tengah keluarga mereka di Indonesia. Akan tetapi, mereka tidak mau berisiko hidup di Tanah Air tanpa kejelasan status hukum, termasuk kewarganegaraan dan jaminan ekonomi.
Belum lagi, kata Eva, trauma keluarga yang bahkan ada yang tidak mau para eksil itu kembali ke Tanah Air karena stigma masih kuat, kemudian mereka lebih memilih menyembunyikan fakta keterkaitan darah.
"Suami, istri, dan anak tercerai-berai, dan tentu ketika negara belum memberi rehabilitasi, risiko sosial dan politik akan merugikan keluarga mereka," kata calon tetap anggota DPR RI periode 2014-2019 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Eva menjelaskan bahwa ketiadaan dukungan keluarga tersebut menyebabkan mereka juga harus berhitung soal risiko ekonomi yang pada akhirnya mereka memilih bertahan dan menyongsong akhir hayat dengan kesepian.
Akan tetapi, kata dia, mereka mendapat jaminan karena tinggal di negara "welfare state" yang banyak memberikan subsidi kepada warga negara.
Eva menyebutkan pelbagai jenis jaminan sosial di negara "welfare state", antara lain kesehatan, rumah, pendapatan, dan pendidikan.
Di lain pihak, kata dia, ada di antara mereka yang menikah dengan bule-bule lokal, kemudian beranak pinak, terutama yang berangkatnya masih lajang.
"Jadi, kalau mereka balik ke Indonesia tanpa `penerimaan` keluarga akan terancam ekonominya, apalagi di Eropa Barat, pengangguran mendapat tunjangan atau `allowances` (cash) per bulan," katanya.
Pada kesempatan sebelumnya, peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir di Jakarta, Selasa (3/12), mengatakan bahwa para eksil tidak banyak yang memilih kembali menjadi warga negara Indonesia karena masih khawatir dicap komunis di masyarakat.
Namun, kata dia, beberapa di antara mereka memanfaatkan terbukanya akses pemulihan dan pengembalian hak kewarganegaraan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Menyinggung jumlah mereka, Amin mengatakan hingga sekarang belum ada pendataan khusus.
Dia memperkirakan jumlah warga eksil Indonesia di Belanda sekitar 300 orang, di Kuba ada dua, kemudian di Korea Utara, Vietnam, Prancis, dan Swedia juga ada. (Ant)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...