Eva Sundari: Benahi Papua dengan Dialog
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Insiden terbakarnya musala di Tolikara yang terjadi pada dua pekan lalu merupakan kesedihan tersendiri bagi umat muslim di wilayah tersebut. Pasalnya kejadian itu terjadi bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri di mana mereka akan melakukan salat Id berjamaah.
Berdasarkan pemberitaan beberapa media yang mengabarkan bahwa pembakaran itu dilakukan oleh jemaat Kristen yang akan melakukan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di wiliayah yang sama kemudian terbentuklah opini publik yang berpikir bahwa kejadian tersebut merupakan sentimen agama.
Setelah pihak jemaat Kristen yang dalam hal ini merupakan bagian dari jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) memberikan keterangan kepada media apa yang terjadi sesungguhnya, barulah diketahui bahwa ini bukanlah masalah agama namun yang memicu adalah tindakan aparat bersenjata yang langsung bertindak tanpa berdialog sehingga menewaskan satu orang dalam insiden tersebut.
Melihat kondisi tersebut, Politisi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Eva Kusuma Sundari menyatakan bahwa pendekatan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pusat khusus untuk menangani masalah-masalah di Papua adalah dengan cara dialog.
Menurutnya, ini merupakan cara yang ampuh membangun kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah meskipun akan memerlukan waktu yang lama dalam proses berdialog.
“Tidak ada cara yang melelahkan tapi yang terbaik itu adalah dialog. Kita ini kan pro demokrasi tapi anti dialog itu ya bagaimana? Dan dialog itu yang jelas nanti akan membuka trust building masyarakat Papua terhadap pemerintah,” kata Eva dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Persekutuan Intelijensia Sinar Kasih di Gedung Sinar Kasih Jalan Dewi Sartika no 136d Jakarta Timur hari Senin (27/7).
Perempuan pegiat HAM ini juga menambahkan bahwa saat berdialog, pemerintah maupun pemangku kepentingan harus menempatkan masyarakat Papua dengan setara. Bukan lagi dialog antara pejabat dan rakyat tapi memakai perspektif sama-sama warga negara Indonesia.
“Jadi saya pikir memperlakukan secara egalitarian itu perubahan mindset (cara berpikir) yang merupakan starting point kita. Bagaimana kita menyetarakan saudara kita orang Papua sama dengan kita. Kalau kita ngomong brother tapi kalau tidak ditaruh equal (sama) tidak diajak dialog, tidak tulus dong.”
Dalam hal ini, kata dia, revolusi mental dari pemerintah maupun masyarakat di luar Papua juga harus diubah. Misalnya, bagaimana kita memandang, memperlakukan, berharap bahkan bermimpi bersama Papua.
Ketika revolusi mental itu sudah kita terapkan, maka akan timbul cara berpikir dan bekerja yang berbeda.
“Dan saya yakin melalui dialog, trust building bisa terbentuk dan bukan hanya dari satu sisi saja,” kata dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...