Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 12:34 WIB | Senin, 15 Februari 2016

Faisal Basri Desak BI Turunkan Bunga Lebih dari 25 bps

Faisal Basri. (Dok satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ekonom Faisal Basri mengatakan rapat bulanan Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 Februari ini  hampir bisa dipastikan bakal menurunkan suku bunga acuan atau BI rate. 

Namun, kata dia, yang masih perlu ditunggu adalah seberapa besar penurunannya. Menurut dia, kalau BI bersikukuh dengan konservatismenya, penurunan paling banter hanya 25 basis poin seperti bulan lalu. Padahal, ruang untuk menurunkan BI rate lebih progresif terbuka lebar. 

Menurut Faisal Basri, ada beberapa faktor yang seharusnya mendorong BI menurunkan BI Rate lebih dari 25 basis poin. Pertama, laju inflasi yang menunjukkan kecenderungan menurun. Bukan hanya di dalam negeri tetapi juga dunia. 

"Sangat ironis kalau kita tidak bisa memanfaatkan tren inflasi dunia yang sangat rendah akibat kemerosotan harga seluruh jenis komoditas. Negara tetangga Singapura sudah mengalami deflasi, demikian juga di Thailand. Inflasi di Vietnam hanya 0,6 persen. 

"Dengan ekspektasi inflasi yang menurun, peluang BI rate turun lebih dari 25 basis poin semakin besar," tulis dia lewat kolom yang dia lansir lewat blog pribadinya, faisalbasri.01.wordpress.com.

Selain itu, kata Faisal, ketakutan terhadap kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS (The Fed) hampir pupus sama sekali. Setidaknya sampai April atau bahkan Juni, kenaikan bunga The Fed diperkirakan tidak terjadi. 

Bahkan, sudah muncul wacana di AS tentang kemungkinan The Fed menerapkan suku bunga negatif. Demikian juga dua raksasa ekonomi dunia, sudah menerapkan suku bunga negatif. Bank Sentral Eropa (European Central Bank) memberlakukannya sejak tahun lalu, Jepang mengumumkan akhir Januari lalu akan mulai memberlakukannya mulai besok (16 Februari). 

Tiga negara Eropa juga sudah menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Bahkan minggu lalu bank sentral Swedia memangkas kembali suku bunga acuan dari minus 0,35 persen menjadi 0,5 persen.

Faisal mengatakan, kemungkinan modal akan lari dari Indonesia juga relatif sangat kecil karena suku bunga riil obligasi Indonesia jauh lebih tinggi dari negara-negara maju. Bahkan, perbedaan suku bunga yang cukup tinggi itu mendorong modal asing masuk.

Pasar saham Indonesia, kata Faisal, belakangan ini juga cukup menarik minat asing. Beberapa hari terakhir, pembelian bersih asing mencapai triliunan rupiah. Kinerja pasar saham Indonesia jauh di atas rerata emerging markets.

Faktor ketiga, yang membuat penurunan BI Rate makin terbuka, adalah harga bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini kerap menjadi momok sementara waktu sirna. Bank Dunia baru saja memotong prediksi harga minyak menjadi hanya 37 dollar AS untuk tahun 2016. 

"Risiko kenaikan harga BBM di dalam negeri hampir nihil, bahkan seharusnya harga BBM turun dari tingkat sekarang. Harga BBM di Indonesia sudah teramat mahal jika dibandingkan dengan Malaysia," kata Faisal

Oleh karena itu, Faisal mengharap BI menerapkan kebijakan moneter yang proaktif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. 

"Ingat, angka pengangguran sudah naik. Kita tidak memiliki keleluasaan mendorong terus kebijkan fiskal yang ekspansif karena basis pajak masih sangat rendah dan dunia usaha butuh waktu untuk konsolidasi," tulis dia.

"Saatnya BI membayar utang atas kekeliruannya menerapkan suku bunga tinggi sejak 2013," pungkas Faisal.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home