Faisal Basri: Penentuan Harga Premium Makin Ngawur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ekonom Faisal Basri mengatakan penentuan harga premiun semakin ngawur. Ia mengamati berubah-ubahnya janga waktu evaluasi harga premium menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah bahkan ia nilai terkesan coba-coba. Ia juga mengeritik Dirjen Migas yang belum apa-apa sudah memberikan sinyal bahwa harga BBM tidak akan diturunkan pada Agustus ini, padahal harga minyak dunia berkecenderungan turun.
"Baru-baru ini pemerintah kembali coba-coba. Evaluasi harga BBM bersubsidi untuk kesekian kali diubah, dari setiap bulan menjadi setiap dua mingu, lalu balik lagi setiap bulan, kemudian setiap 3 bulan, dan terakhir bakal setiap 6 bulan. Mengapa pemerintah membuat sulit diri sendiri, membuat dirinya semakin tidak luwes, dan menutup kemungkinan memanfaatkan momentum perubahan," tulis Faisal Basri melalui blog pribadinya hari ini, Kamis (29/7).
"Kalau perekonomian sedang tertekan dan harga-harga kebutuhan pokok sedang melonjak, bukankah penurunan harga BBM jika harga minyak sedang anjlok bisa menjadi darah segar buat perekonomian untuk menjaga kestabilan?" tanya dosen pada Fakultas Ekonomi UI itu.
Di bagian awal tulisannya, ia mengutip pernyataan Dirjen Migas Kementerian ESDM yang mengatakan harga bensin premium bulan Agustus harusnya Rp 8.600 per liter. Dirjen mengklaim itu harga keekonomian.
Menurut Faisal Basri, tidak jelas apa definisi harga keekonomian di sini.
Tak sampai seminggu lalu, tulis Faisal Basri lagi, Pertamina mengaku bahwa, “Kalau dihitung dengan harga minyak dan kurs sekarang, harga aslinya Pertalite Rp 8.700/liter, tapi karena ini harga promo kita jual Rp 8.400/liter.” Pernyataan itu datang dari Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang.
Faisal mempernyatakan, apakah harga asli yang diklaim Direktur Pertamina adalah harga keekonomian sebagaimana diklaim Dirjen Migas?. Jika ya, Faisal mempertanyakan bahwa beda harga antara ucapan Dirjen Migas dan Direktur Pemasaran Pertamina hanya Rp 100. Padahal Rp. 8.600 itu harga premium (RON 88), sedangkan Rp 8.700 itu harga Pertalite (RON 90).
Menurut Faisal Basri, pernyataan Dirjen Migas di atas semakin memperkuat konstatasi bahwa Pemerintah tidak akan menurunkan harga premium pada bulan Agustus walaupun harga minyak mentah rerata bulanan sudah dua bulan turun.
Tidak Konsisten
Selain itu Faisal Basri yang oleh Presiden Joko Widodo ditunjuk sebagai ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas, juga menyoroti penentuan harga keekonomian versi pemerintah, yang diperoleh dari harga pokok (HP) ditambah PPN (10%) ditambah PBBKB (5%)
HP RON 88 = 0.9842 * MOPS Mogas 92 + Alpha
Menurut dia, ada tiga masalah mendasar dengan rumus ini. Pertama, koefisien 0,9842 diperoleh dari data dan asumsi masa lalu yang sudah tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
Kedua, MOPS Mogas 92 adalah harga pasar, bukan harga perolehan sebenarnya. Pertamina mengklaim telah banyak menghemat pengadaan minyak dan BBM setalah tidak lagi ditangani PES, anak perusahaan Petral yang beroperasi di Singapura. Penghematan lebih 1 dollar AS sepatutnya dialirkan ke publik. Jadi, yang seharusnya jadi acuan adalah harga transaksi oleh Pertamina, bukan harga MOPS.
Ketiga, komponen Alpha selalu berubah setiap pemerintah menentukan harga baru untuk BBM bersubsidi. Jadi, harga “keekonomian” versi pemerintah tidak didasarkan pada formula yang stabil. Setiap perubahan tidak dilandasi oleh hujah yang kuat. Lobi sangat berperan.
"Amat disayangkan kalau kebijakan pemerintah terkesan coba-coba dan semakin tidak transparan," kata dia.
Menurut Faisal, kalau penetapan harga per 1 Agustus 2015 dilakukan berdasarkan evaluasi per enam bulan, berarti mengacu pada harga rerata selama enam bulan sebelumnya (Februari-Juli). Menurut Dirjen Migas, per enam bulan itu menghasilkan harga terendah (Rp 8.200 per liter untuk premium). Anehnya, kata Faisal, mengapa tidak ada opsi evaluasi per satu atau dua bulan sehingga kemungkinan besar bisa memperoleh harga lebih rendah. Evaluasi enam bulanan yang menghasilkan harga terendah toh hanya berlaku untuk tahun ini.
"Janganlah belum apa-apa sudah memberikan sinyal tidak akan menurunkan harga BBM bersubsidi. Berikanlah sedikit keleluasaan bagi dunia usaha dan masyarakat agar bisa bernafas lebih panjang di tengah berbagai tekanan dari segala arah yang kian berat. Bukankah kewajiban pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian dan memberikan asupan bergizi ketika perekonomian sedang mengalami banyak tekanan?" tanya Faisal Basri.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...