FAO: Dampak Invasi Rusia di Ukraina, Harga Pangan dan Minyak Sayur Naik 12,6%
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Harga komoditas makanan seperti biji-bijian dan minyak sayur mencapai level tertinggi bulan lalu, dan sebagian besar karena perang Rusia di Ukraina yang menyebabkan “gangguan pasokan besar-besaran”, dan mengancam jutaan orang di Afrika, dan Timur Tengah dengan kelaparan dan kekurangan gizi, menurut badan PBB, hari Jumat (8/4).
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengatakan Indeks Harga Pangan, yang melacak perubahan bulanan harga internasional untuk komoditas pangan, rata-rata 159,3 poin bulan lalu, naik 12,6% dari Februari. Indeks Februari adalah level tertinggi sejak dimulai pada tahun 1990.
FAO mengatakan perang di Ukraina sebagian besar bertanggung jawab atas kenaikan 17,1% harga biji-bijian, termasuk gandum dan lainnya sepert barley dan jagung. Rusia dan Ukraina masing-masing menyumbang sekitar 30% dan 20% dari ekspor gandum dan jagung global.
Meskipun dapat diprediksi mengingat kenaikan tajam pada Februari, "ini benar-benar luar biasa," kata Josef Schmidhuber, wakil direktur divisi pasar dan perdagangan FAO. “Jelas, harga makanan yang sangat tinggi ini membutuhkan tindakan segera.”
Kenaikan harga terbesar adalah pada minyak nabati: indeks harga itu naik 23,2%, didorong oleh kuotasi yang lebih tinggi untuk minyak biji bunga matahari yang digunakan untuk memasak. Ukraina adalah pengekspor minyak bunga matahari terkemuka di dunia, dan Rusia adalah No. 2.
“Tentu saja ada gangguan pasokan besar-besaran, dan gangguan pasokan besar-besaran dari wilayah Laut Hitam telah memicu harga minyak nabati,” kata Schmidhuber.
Dia mengatakan dia tidak dapat menghitung berapa banyak perang yang harus disalahkan atas rekor harga pangan, mencatat bahwa kondisi cuaca buruk di Amerika Serikat dan China juga disalahkan atas masalah panen. Namun dia mengatakan "faktor logistik" memainkan peran besar. "Intinya, tidak ada ekspor melalui Laut Hitam, dan ekspor melalui Baltik praktis juga akan berakhir," katanya.
Melonjaknya harga pangan dan gangguan pasokan yang datang dari Rusia dan Ukraina telah mengancam kekurangan pangan di negara-negara di Timur Tengah, Afrika dan beberapa bagian Asia di mana banyak orang sudah tidak mendapatkan cukup makanan.
Negara-negara tersebut bergantung pada pasokan gandum dan biji-bijian lain yang terjangkau dari wilayah Laut Hitam untuk memberi makan jutaan orang yang hidup dari roti bersubsidi dan mi murah, dan mereka sekarang menghadapi kemungkinan ketidakstabilan politik berkepanjangan.
Produsen biji-bijian besar lainnya seperti Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Australia, dan Argentina sedang diawasi dengan ketat untuk melihat apakah mereka dapat dengan cepat meningkatkan produksi untuk mengisi kesenjangan, tetapi petani menghadapi masalah seperti kenaikan biaya bahan bakar dan pupuk yang diperburuk oleh perang, kekeringan dan gangguan rantai pasokan.
Di wilayah Sahel di Afrika Tengah dan Barat, gangguan dari perang telah menambah situasi pangan yang sudah genting yang disebabkan oleh COVID-19, konflik, cuaca buruk, dan masalah struktural lainnya, kata Sib Ollo, peneliti senior untuk Program Pangan Dunia (WFP) untuk Afrika Barat dan Tengah di Dakar, Senegal.
“Ada penurunan tajam ketahanan pangan dan gizi di wilayah tersebut,” katanya kepada wartawan, dengan mengatakan enam juta anak kekurangan gizi dan hampir 16 juta orang di daerah perkotaan berisiko mengalami kerawanan pangan.
Petani, katanya, sangat khawatir mereka tidak akan dapat mengakses pupuk yang diproduksi di wilayah Laut Hitam. Rusia adalah eksportir global terkemuka. “Biaya pupuk telah meningkat hampir 30% di banyak tempat di wilayah ini karena gangguan pasokan yang kami lihat dipicu oleh krisis di Ukraina,” katanya.
Program Pangan Dunia telah meminta US$ 777 juta untuk memenuhi kebutuhan 22 juta orang di wilayah Sahel dan Nigeria selama enam bulan ke depan, katanya.
Untuk mengatasi kebutuhan negara-negara pengimpor makanan, FAO sedang mengembangkan proposal mekanisme untuk meringankan biaya impor bagi negara-negara termiskin, kata Schmidhuber. Proposal tersebut menyerukan negara-negara yang memenuhi syarat untuk berkomitmen pada investasi tambahan dalam produktivitas pertanian mereka sendiri untuk mendapatkan kredit impor guna membantu meringankan beban. (AP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...