Fashion Extravaganza JFFF, Pesta Kain Negeri
SATUHARAPAN.COM – Beberapa tahun lalu, tenun Tolaki, tenun Mekongga, tenun Walida, mungkin asing di telinga. Sama-sama dari Sulawesi, tenun Buton, tenun Donggala, atau tenun Makassar, lebih dikenal. Bicara tenun, sebagian orang lebih sering mempercakapkan tenun Nusa Tenggara Timur.
Citra kaku dan tebal, juga tidak nyaman dikenakan, memang telanjur melekat pada tenun. Produk budaya bangsa yang tersebar di Nusantara itu hanya dikenakan dalam acara-acara adat. Begitu acara adat rampung, kain adati itu pun kembali masuk lemari. Sebagian kecil, memanfaatkannya sebagai hiasan dinding seperti tapis Lampung.
Namun, beberapa tahun belakangan ini, tenun, mengikuti batik, kain kekayaan negeri, mendapatkan tempat di dunia mode Tanah Air. Bahkan lurik pun mulai dilirik.
Fashion Extravaganza, pergelaran mode akbar di ajang Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF, baca je-ef-tri) 2014 yang berlangsung 15 Mei – 1 Juni, tak ketinggalan mengangkat kejayaan kain tradisional itu ke hadapan khalayak pencita mode. Perancang busana mengasah kreativitas mengolah kain kekayaan negeri dari berbagai daerah menjadi aneka busana, mulai dari busana santai hingga gaun untuk acara resmi dan memamerkannya dalam peragaan busana.
Pada pembukaan Fashion Extravaganza, 15 Mei, perancang busana Stephanus Hamy memamerkan karyanya yang mengeksplorasi eksotisme tenun-tenun Sulawesi seperti disebut di atas. Dengan latar belakang sebagai sarjana arsitektur, Hamy mengkonstruksikan dua motif tenun berbeda menggunakan teknik patch, mengawinkan tenun donggala yang memiliki motif kotak-kotak dengan motif tenun tulaki, tenun khas Kendari, sebagai bingkai. Lewat kreativitasnya Hamy membuktikan kain negeri sangat pantas tampil dalam acara-acara resmi yang selama ini seolah “hanya” menjadi tempat brand terkenal luar negeri.
Fashion Extravaganza 2014 juga menjadi ajang memperkenalkan kembali kain Bentenan, kain tradisional dari Sulawesi Utara yang sempat “hilang” di masa penjajahan Belanda. Yayasan Karema menyosialisasikan kembali kain Bentenan sejak 2006, dengan memproduksi, mengkreasikan kembali motif-motif, menjadi kain tenun hingga kain print.
Pesta kain negeri berlanjut melalui pameran karya rancangan dari desainer yang tergabung di bawah payung Cita Tenun Indonesia. Perkumpulan nirlaba yang didirikan beberapa perempuan dari berbagai latar belakang bidang pekerjaan dan pendidikan pada 2008 itu, bekerja sama dengan perancang busana, desainer interior, dan perajin, mengembangkan tenun-tenun Garut, Majalaya, Bali, Sambas, Sulawesi Tenggara, Sumba, Lombok, Baduy, dan Palembang.
Perancang busana yang tergabung dalam Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) hadir dengan tema khusus “Kain Negeri”. Di tangan para perancang, tenun Garut dan tenun Jepara, juga aneka batik dan sulam usus Sumatera, diolah menjadi busana dengan tampilan modern.
Di tangan perancang busana, batik pun tak lagi menyandang citra kuno dan tua. Batik, yang mendapatkan pengakuan Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) masuk Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-Benda Warisan Manusia pada Oktober 2009, menjadi sumber kreasi perancang busana Carmanita, Era Soekamto, dan Yongki Budisutisna.
Di tangan Lenny Agustin, batik bertransformasi menjadi koleksi busana yang segar dan “fun”. Desainer yang dikenal melalui rancangan yang fun, girly, dan playful itu, mengeksplorasi batik Madura dengan permainan motif yang ekspresif, sarung Kalimantan, dan lurik. Mengusung tema “Easy Like Sunday Morning”, Lenny berharap menularkan keceriaan koleksi dari lini Lennor itu untuk kaum muda agar lebih mencintai kain produk budaya bangsa.
Lurik, kekayaan budaya bangsa yang lain, berhasil tampil sebagai pemuncak dalam upaya merayakan kain negeri di Fashion Extravaganza JFFF 2014. Lurik, yang luput dilirik selama ini, menyedot perhatian pencinta mode ketika perancang busana Didiet Maulana memamerkan karyanya dalam tajuk “Garis-garis Budaya Nusantara”. Lewat brand Ikat Indonesia by Didiet Maulana, ia mengolah ragam kain jenis lurik dari Klaten dan Yogyakarta, dan memadukannya dengan endek Bali, untuk koleksi Mentari (Spring Summer) 2014.
Didiet, seperti pengakuannya, mencoba menghadirkan garis baru dalam peta busana nasional dengan mengangkat motif lurik dalam warna baru dan potongan yang diharapkan mampu menarik generasi muda dalam mengenal budaya bangsanya.
Mendapat Tempat
Perjalanan kain adati hingga ke tahap sekarang menurut pengamatan desainer Era Soekamto, berawal dari industri tekstil yang kehilangan momentum research and development. “Industri tekstil didikte oleh buyer, membuatnya berada di zona nyaman, sehingga tidak banyak alternatif bagi desainer untuk berkarya untuk lini inggil (lini high-end, deluxe, Red) kecuali bahan impor dan harganya mahal,” kata Era, yang juga juru bicara IPMI, kepada satuharapan.com.
Pilihan mengangkatnya menjadi sumber utama, menurut Era, selain sebagai bentuk kepedulian di lingkup internal, juga untuk mengangkat permintaan dan menjawab pasar.
Kain kekayaan negeri, seperti dikemukakan Era Soekamto, menjadi kampanye kolektif IPMI sebagai kepedulian dan tanggung jawab setiap anggotanya untuk menumbuhkembangkan kain Indonesia, memperkenalkannya ke permukaan sehingga dikenal masyarakat luas. Di dalamnya terselip misi menjadi sarana edukasi untuk menghargai proses pembuatannya, meningkatkan apresiasi seni, membantu memutar roda perekonomian usaha kecil menengah, serta berpartisipasi meningkatkan industri kreatif berbasis budaya. “Kain negeri diharapkan dikembangkan menjadi materi life style di tangan desainer fashion,” Era menjelaskan.
Deden Siswanto, perancang busana yang juga rajin mengangkat kain tradisional dalam karya rancangan, mengatakan masyarakat pencinta mode dapat menerima kehadiran kain tradisional berkat upaya gencar yang dilakukan pelaku usaha di bidang mode.
Dalam berbagai perhelatan akbar, gaun koktil berbahan tenun halus Palembang, ataupun gaun berbahan tenun sutra Garut rancangan desainer Indonesia, kini mampu tampil tak kalah megah dengan gaun-gaun dari brand ternama dunia. “Apalagi di fashion dunia, banyak desainer internasional yang mengangkatnya dari lima tahun lalu,” Deden, desainer yang juga pengurus Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) itu, menambahkan.
Persoalannya, kain tradisional masih terkendala pembuatannya. Keterbatasan bahan, waktu pembuatan, hingga tradisi dan budaya sendiri, belum memungkinkan kain tradisional diproduksi secara massal.
Namun, kendala pembuatan yang mengandalkan tangan itu, menurut Deden, tidak menjadi masalah. Produk busana yang memanfaatkan tenun ataupun batik asli, tetap ada pasarnya, ready to wear deluxe, yang sifatnya eksklusif. “Seiring kemajuan zaman, kini baik batik ataupun tenun, bisa dibuat massal dengan teknik printing,” kata Deden. Perancang busana Ghea Panggabean dan Itang Yunasz, termasuk di antara perancang yang memanfaatkan teknik itu.
Bagi Era, tahapan kain adat sekarang berada di perbatasan, antara harus terus mengedukasi dan sekaligus juga menjawab pasar. “Cara satu-satunya, adalah manajemen yang solid dan menyeluruh, jadi lama waktu pengerjaan kain bukan jadi soal lagi,” tuturnya.
Kemenkes: Pemberian Makanan Pendamping ASI Harus Penuhi Empa...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Kesehatan telah menerbitkan “Petunjuk Teknis Pemantauan P...