Fatwa MUI Haramkan Pluralisme, Apakah Sama dengan Babi?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Vice President Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Johannes Hariyanto mengaku heran dengan apa yang menjadi dasar pemikiran fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 tentang haramnya pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama.
Sambil sedikit guyon, Pastor yang akrab disapa Hari tersebut mempertanyakan apakah pluralisme setara dengan daging babi? Untuk diketahui, fatwa itu merupakan hasil dari Musyawarah Nasional MUI ke-7 pada 26-29 Juli 2005, dengan Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
“Walaupun sudah dikritik berkali-kali mengenai definisi pluralisme yang dikeluarkan dalam fatwanya, MUI tidak pernah mengubah. Akibatnya adalah terjadi pembodohan publik mengenai arti pluralisme. Terlebih karena pluralisme itu sendiri merupakan istilah barat maka dianggap mengancam umat Islam,” ucap Pastor yang akrab disapa Hari, dalam acara Pendidikan Demokrasi HAM dan Konstitusi Bagi Penyuluh Agama-agama di Wahid Institute, Matraman, Jakarta Timur, Sabtu (7/6).
Pluralisme adalah penghormatan pada masing-masing orang walaupun berbeda. Maka pluralisme itu realitas keragaman hidup kita, khususnya pengalaman kita sebagai orang Indonesia sejak kita dilahirkan.
“Kalau ada orang mengatakan mari kita tolak pluralisme, berarti dia tidak cocok tinggal di Indonesia,” ujar Hari.
Menurut Hari, kita mempunyai kesulitan ketika bicara Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, pluralisme dalam konteks agama. Kesulitannya karena ketiga hal itu adalah hasil dari suatu proses sejarah yang relatif baru daripada agama.
Universal declaration of human rights, baru diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1948, di mana menyatakan bahwa setiap manusia punya nilai yang sama, dan tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan apapun. Itu menjadi suatu kesadaran yang berjalan dalam sebuah proses sejarah bangsa Indonesia, demikian juga demokrasi dan pluralisme.
“Kesulitannya, ketiga kata-kata tersebut tidak ada di dalam ayat kitab suci agama apapun, karena itu adalah hasil kita sebagai manusia yang belajar di dalam proses sejarah. Kemudian muncul pembakuan agama melalui bentuk-bentuk tulisan yang dianggap suci, seperti fatwa tadi,” ucapnya.
Seharusnya, tugas ulama yang benar adalah membantu umat untuk memahami sesuatu dengan lebih baik dan lebih kritis tanpa menimbulkan permusuhan. Namun, sangat disayangkan perumus Fatwa MUI itu tidak bisa membuat umat paham, malah menimbulkan kecurigaan dan pertentangan. Dari sudut pandang ICRP, melihat ini sebagai sesuatu yang membahayakan hidup kebersamaan kita.
Sementara itu, tugas negara adalah menjamin kehidupan yang layak dan terhormat bagi setiap warga negara. Selama ini, lanjut Hari, negara sibuk untuk mengurus warganya masuk sorga dari pada hidup layak sebagai manusia, dalam arti kebutuhan fisik, sosial, karya, dan martabatnya, bahkan perbedaannya dihargai, dengan demikian setiap warga negara bisa menyumbang sesuatu untuk kehidupan kita bersama.
“Mungkin menjadi negara sekuler akan jauh lebih baik bagi semua orang di Indonesia yang pada dasarnya adalah plural. Indonesia punya sejarah dan latar belakang yang begitu beragam, masak mau diseragamkan?” tukas Hari.
Kemudia ia menambahkan, bahwa tidak ada satupun agama di dunia yang seragam, bisa kita lihat dalam hal bahasa, kebudayaan, adat istiadat, kebiasaan sehari-hari warga di suatu negara tertentu itu berbeda-beda, itulah yang membuat perbedaan pada tiap agama.
Hari mengaku sangat mendukung kolom agama di KTP dihilangkan saja. Alasannya, agama bukan bawaan lahir, melainkan merupakan pilihan yang tersedia dari kebebasan.
Fatwa yang dikeluarkan MUI, sejatinya diwarnai oleh kecurigaan dan ketakutan, ada suasana yang tidak aman, merasa terancam, yang terjadi pada umat Islam di Indonesia. Padahal, negara berbasis satu agama bukanlah pilihan yang tepat untuk kemajemukan di Indonesia.
“Gus Dur sendiri pernah mengatakan negara Indonesia itu bukan negara agama, bukan pula negara sekuler, akibatnya Indonesia menjadi negara yang bukan-bukan. Setiap kali yang terjadi ada kecenderungan menariknya ke arah negara agama,” sesalnya.
Pada akhirnya, ternyata baik atau tidaknya sistem dalam suatu negara adalah bukan karena agama tertentu, melainkan kualitas pemimpin dan kebaikan sistemnya itu sendiri.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...