Federasi Jurnalis Internasional: Media Hongkong Dimanipulasi Pejabat
HONG KONG, SATUHARAPAN.COM - Federasi Jurnalis Internasional (International Federation of Journalists/IFJ) dalam laporannya, Senin (26/1), memperingatkan "intervensi di balik layar" media Hongkong di tengah peningkatan kekhawatiran mengenai kebebasan pers dan campur tangan Beijing.
Laporan tersebut merupakan yang kedua selama Januari untuk mengungkap kekhawatiran terkait sensor dan manipulasi media serta serangan fisik terhadap wartawan di kota itu, yang bangga dengan kebebasan berpendapat lebih besar daripada wIlayah lain di Tiongkok.
"Selain menyoroti tekanan oleh kekuatan politik, IFJ mengingatkan sektor usaha di daratan utama dan Hongkong bahwa pers yang bebas dan independen memainkan peran penting bagi iklim usaha," katanya dalam pernyataan.
"Kebebasan pers adalah hak asasi manusia dan media harus bisa menjalankan peran profesionalnya tanpa rasa takut atau intimidasi," katanya.
Ketegangan di Hongkong masih tinggi setelah aksi unjuk rasa selama lebih dari dua bulan menuntut pemilu yang benar-benar bebas, diakhiri pada Desember tanpa ada konsesi mengenai reformasi.
Laporan IFJ yang dipresentasikan dalam Klub Koresponden Asing Hongkong berdasarkan pengakuan tiga jurnalis yang semuanya menggunakan nama samaran.
Seorang wartawan Hongkong dengan nama samaran Lam Hei menggambarkan tahun 2014 sebagai "batas kesabaran" bagi media di kota Itu dan mengatakan bahwa hal itu telah "menghilangkan tajuk mandiri".
Kepekaan terhadap pemasang iklan dan kekerapan kontak yang tidak biasanya, antara pejabat Hongkong dan media merupakan bagian dari tekanan yang dihadapi, kata Lam.
Para wartawan itu mengatakan bahwa campur tangan dari Beijing "jelas dan tidak disembunyikan" dengan para pejabat di Hongkong menekan wartawan selama aksi unjuk rasa.
"Sebagian besar media tidak memberikan perlawanan... media Hongkong sudah setengah berlutut," katanya.
Laporan itu muncul kurang dari dua pekan setelah laporan sebelumnya dari kelompok HAM dan sastra AS PEN American Center yang mengatakan, media di Hongkong berada dalam "risiko yang meningkat", di antaranya dengan munculnya serangan fisik dan siber.
Hongkong yang merupakan bekas koloni Inggris hingga 1997 itu berada di bawah formula "satu negara dua sistem" yang memungkinkannya memiliki kebebasan sipil lebih besar dibandingkan kawasan lain di daratan utama Tiongkok, termasuk kebebasan berbicara dan hak untuk berunjuk rasa.
Namun berkembang kekhawatiran bahwa kebebasan yang sudah dinikmati sejak lama itu tengah terkikis.
Sejumlah tokoh media mengalami serangan, terakhir terjadi dua minggu lalu saat rumah dan kantor pemilik media Jimmy Lai yag pro-demokrasi dilempar bom. Lai dan harian miliknya yang keras bersuara Apple Daily berulangkali menjadi sasaran serangan.
Mantan editor harian liberal Ming Pao, Kevin Lau, masih dalam proses penyembuhan setelah ia diserang dengan parang di jalan di siang hari bolong pada Februari 2014.
Dua wartawan Tiongkok yang berkontribusi dalam laporan IFJ itu juga menyebutkan adanya kontrol lebih ketat pada media yang selama inipun sudah disensor di daratan utama, dan menggambarkan situasi saat ini sebagai "hari-hari paling gelap" selama 15 tahun.(AFP)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...