Fesyen Saat Fase Normal Baru, Masker Hingga APD Modis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kebersihan diri menjadi prioritas penting di tengah pandemi, termasuk orang-orang yang kembali harus beraktivitas seperti biasa di fase normal baru.
Perancang-perancang Tanah Air melihat peluang dengan meluncurkan karya-karya baru yang modis tapi bisa membantu pemakai lebih lega karena merasa lebih terlindung.
MADJA by Mayaratih dan Fenny Saptalia berkolaborasi membuat koleksi untuk normal baru berjudul "NA•FASH" dari kata "nafas" yang berarti hidup.
Koleksi terdiri dari long Jacket, jumpsuit, dan cape dengan bahan antibacterial and water repellent dengan tujuan untuk menambah perlindungan. Karakter casual street fashion diterapkan di koleksi ini dengan warna pastel antik dan design signature printing berupa kata-kata penyemangat.
Tak cuma itu, koleksi ini dilengkapi dengan scarf, masker dan sarung tangan yang diharapkan bisa membuat pengguna merasa lebih aman namun tetap tampil menawan.
Brand Gadiza dari Rosie Rahmadi melakukan riset lebih dalam mengenai produk-produk yang memang dibutuhkan saat dan mengembangkan ulang produk-produk yang fast moving.
“Kita melakukan redefine produk-produk lama Gadiza yang kira kira cocok untuk tetap digunakan di saat pandemi ini," kata Rosie dalam siaran resmi, Jumat (26/6).
Gadiza pun merilis ulang Sazia Outer sebagai outer pelindung diri dengan desain sederhana, bahan ringan dan bisa menolak air. Strateginya berhasil.
"Hanya dalam waktu singkat, Sazia Outer yang awalnya melimpah di Gudang Maison Gadiza habis dan harus memproduksi lagi," kata Rosie .
Adaptasi
Pandemi COVID-19 menghantam berbagai lini bisnis, salah satunya fashion. Peragaan busana dibatalkan karena tak boleh ada acara yang mengundang kerumunan demi menekan risiko infeksi virus.
Para perancang dituntut untuk beradaptasi dalam menghadapi situasi yang benar-benar baru.
Hannie Hananto menuturkan, ia mendekatkan diri dengan konsumen lewat media sosial. Minat konsumen dijaga dengan membuat video ulasan produk koleksi di Instagram, mendorong terciptanya interaksi yang berujung pada pembelian.
"Yang perlu dilakukan ke depan adalah amat peka dan responsif terhadap perubahan," kata Hannie.
Brand Ija Kroeng yang memproduksi kain sarung etnik Aceh dan pakaian muslim pria kemudian memproduksi masker kain yang sempat sangat diminati hingga tiap pembeli hanya dibatasi membeli maksimal 10 buah.
Khairul Fajri Yahya dari Ija Kroeng menuturkan, selain menjual masker berlogo brand tersebut, mereka juga membuat sampel masker dengan logo instansi dan perusahaan. Usahanya berbuah manis karena pesanan masker kain berlogo custom datang bertubi-tubi.
Ketika pembatasan sudah dilonggarkan, dan acara seperti pernikahan di masjid boleh diselenggarakan dengan syarat semua orang wajib memakai masker, Khairul menyabet peluang yang ada. Dia membuat masker kain bertuliskan nama pasangan pengantin sebagai suvenir yang dibagikan kepada tamu yang datang.
"Di setiap kesusahan pasti ada peluang baru kalau kita masih berpikir positif dan selalu berinovasi," kata Khairul. "Sehingga di masa pandemi seperti sekarang ini kita masih bisa mempertahankan bahkan bisa lebih membesarkan bisnis kita."
Riri Rengganis, pemilik brand Indische dan Regganis yang mengangkat keunikan bordir tangan serta batik tulis dan tenun, memutuskan untuk mengevaluasi kembali apakah produknya masih relevan dengan situasi masa kini.
Ia pun fokus terhadap dua hal, membuat menu baru di laman yang menjual tekstil tradisional sembari menawarkan jasa jahit dengan konsep tanpa potong.
"Maka pembelian kain tersebut bisa dianggap sebagai investasi, membantu pengrajin tapi juga bisa dipakai tanpa merusak niilai kain tersebut," katanya.
Riri juga membuat masker dengan rancangan yang bisa dipadankan dengan koleksi lamanya agar bisa ditawarkan kepada pelanggan loyal.
Sejak April, ia memperkenalkan masker premium dengan rancangan bordir dan segera merilis lagi desain-desain baru pada bulan yang sama.
"Di minggu terakhir April, pesanan yang masuk alhamdulillah menutup kekurangan omset di awal bulan hingga masih bisa menggaji karyawan," tutur dia.
Sentuhan personal dari perancang dikedepankan olehnya, sebagai pembeda dari produk lain yang bersifat massal. Riri memberikan konsultasi gratis, melayani permintaan khusus kustomisasi tanpa melenceng dari desain koleksi yang ditawarkan juga melakukan pengukuran lewat panggilan video.
"Sekecil apapun pekerjaannya, lakukan dengan sungguh-sungguh, termasuk masker, yang terdengar sepele di awal pandemi sekarang menjadi salah satu penyelamat UKM," katanya.
Sementara Phillip Iswardono mengerahkan penjualan lewat media sosial yang memberikan efek positif dan meningkatnya bisnisnya. Hubungan dengan klien pun semakin dipererat lewat bingkisan berisi barang praktis dan serbaguna.
Ia memanfaatkan bahan perca dari sisa produksi untuk memproduksi masker yang tak cuma dijual, tapi juga disumbangkan.
Phillip pun membuat koleksi siap pakai dengan rancangan sederhana namun unik dengan harga lebih murah. Produk tersebut dikirimkan dengan bonus masker dan tanpa ongkos kirim.
"Boomingnya order masker justru membuat saya menambah karyawan terutama outsourcing," kata dia.
Hingga saat ini, pesanan masker yang sudah ia kirimkan kepada pembeli selama pandemi berjumlah sekitar 25.000 masker.
"Saat ini saya masih mengerjakan produksi masker maupun baju-baju dan selalu berinovasi karena menurut saya masker sudah menjadi bagian dari fashion," kata dia. (Ant)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...