Fikih Kebinekaan untuk Masyarakat Majemuk
SATUHARAPAN.COM – Indonesia memiliki modal sosial, kultural, dan keunikan tersendiri dibandingkan dunia Islam lain. Selain menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, bangsa Indonesia berasal dari berbagai macam suku, bahasa, warna kulit, dan agama.
Indonesia juga memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang bisa menjadi pedoman dalam tatanan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Dalam posisi yang demikian, mestinya Islam Indonesia bias menjadi alternatif model keberislaman bagi masyarakat di belahan dunia lainnya. Islam Indonesia bias menjadi solusi alternatif untuk mengatasi berbagai konflik di terjadi di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah.
Namun, tampaknya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika masih menjadi simbol dan belum banyak dibumikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti, hingga hari ini masih banyak persoalan intoleransi dan kekerasan yang jauh dari nilai-nilai kebinekaan yang digariskan oleh founding fathers and mothers bangsa ini. Umat Islam Indonesia pun, meskipun mayoritasnya adalah Muslim yang moderat, tetapi ada sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendaknya dan suka mengkafirkan yang lain. Yang disalahkan itu bisa jadi seagamanya sendiri maupun di luar agamanya.
Persoalan Krusial
Dalam persoalan hal kepemimpinan dan hubungan kekuasaan antara kelompok dan masyarakat di Indonesia, kita juga masih menjumpai berbagai persoalan. Meskipun dalam Konstitusi Indonesia tersurat secara jelas bahwa semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, namun sering terjadi gejolak dalam persoalan relasi kuasa ini. Konstitusi Indonesia memang tidak mengenal pembedaan antara first class citizenship and second class citizenship, atau kelompok mayoritas dan minoritas, namun dalam praktik kehidupan sehari-hari hal itu masih terlihat jelas.
Pada beberapa kejadian, sering terjadi penolakan yang kuat dan disertai justfikasi keagamaan, jika sebuah daerah mayoritas Muslim dipimpin oleh Nonmuslim atau sebaliknya. Itu tampak pada kasus Ahok yang menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Lurah Susan yang menjadi Lurah di Lenten Agung. Bahkan, penolakan itu kadang berujung pada kekerasan.
Selain justifikasi keagamaan, alasan-alasan SARA kadang kerap digunakan dalam menolak pemimpin dari kalangan minoritas di daerah mayoritas. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat kerap kali terombang-ambing dalam menyatakan sikapnya dan tidak jarang terpancing secara emosional untuk mengikuti kelompok mayoritas.
Yang memprihatinkan, beberapa tokoh juga cenderung mendahulukan emosinya dibandingkan mencoba melakukan musyawarah dan dialog. Bahkan, ada sebagian yang pengetahuan keagamaannya dikalahkan oleh kepentingan politiknya, sehingga argumen-argumen yang disampaikan terkait soal kepemimpin ini cenderung dipaksakan (Ahmad Syafii Maarif, 2015).
Penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari golongan dan kelompok yang berbeda, baik dari sisi agama maupun etnis, tentu menjadi keprihatinan sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa komitmen masyarakat terhadap kebinekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap segenap warga negara, masih menjadi persoalan serius di negara ini. Demokrasi di Indonesia tampaknya masih banyak berjalan secara prosedural, karena nilai-nilai substantif demokrasi belum banyak dipahami dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, demokrasi berarti juga harus mengakui kepemimpinan dari kalangan manapun karena hal itu konstitusional dan diatur dalam Konstitusi. UUD 1945 menyatakan bahwa negara melindungi segenap warga negaranya dan semuanya berhak mendapatkan hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya tanpa ada diskriminasi.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, tradisi keislaman dan pemikiran Islam sangat mengakar kuat di negara ini. Fikih yang banyak dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Muslim, juga berkembang di negara ini. Oleh karena itu, fikih harus mampu menjawab berbagai persoalan di atas, terutaa terkait dengan soal kepemimpinan. Sayangnya, fikih yang mengatur soal kebinekaan dan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk ini belum banyak menjadi wacana publik.
Padahal, jika kita gali secara serius, banyak pelajaran penting dari zaman Nabi Muhammad, Sahabat, dan para ulama' klasik yang bisa dijadkan rujukan untuk menemukan berbagai jawaban terhadap problem kehidupan masyarakat majemuk. Piagam Madinah adalah sebuah master piece tentang bagaimana Rasululllah mengatur masyarakat dan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk. Para ulama' seperti Ibnu Taymiyah, Al-Mawardi, Muhammad Abduh, dan sebagainya juga menulis tentang bagaimana soal kepemimpinan dalam masyarakat majemuk. Pemikiran-pemikiran itu tentu perlu digali kembali dan dikontekstualisasikan untuk menghadapi berbagai persoalan keumatan hari ini.
Perlu Penelaahan Ulang
Untuk menjawab tantangan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk yang terjadi hari ini, maka kita perlu menelaah kembali pemikiran-pemikiran ulama klasik di atas. Jangan sampai, pandangan-pandangan progresif para pemikir Islam itu ditutupi atau sengaja disembunyikan karena dengan alasan tertentu. Kita harus membawa semangat fikih yang sesuai dengan tujuan utama syariah, yaitu al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).
Tujuan utama syariah ini akan tercapai jika kita mau berpikir secara serius dan berusaha untuk mencerdaskan umat agar tidak terjebak pada fanatisme golongan. Kita perlu mengangkat kembali prinsip universalisme Islam dan prinsip kemanusiaan Islam yang melindungi dan memberi manfaat untuk semua umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
Dengan menelaah kembali berbagai pemikiran Fikih untuk kemudian mengkontekstualisasikan dalam kehidupan sekarang ini, maka klaim tunggal kebenaran dan kemudahan untuk menyalahkan orang lain yang di luar kelompok kita akan lebih bisa dihindarkan. Kita juga bisa memberi contoh kepada umat dan masyarakat tentang pentingnya berpikir secara mendalam dan tidak gampang terjebak pada perilaku emosional. Misalnya sikap fanatik mendukung atau menolak kelompok tertentu.
Kita juga bisa menempatkan secara tepat bagaimana soal pemimpin dalam masyarakat majemuk yang sebetulnya diatur dalam Konstitusi dan ditemukan rujukannya dalam Al-Qur'an, Hadist, dan berbagai pemikiran Islam itu. Untuk itu, rumusan Fikih Kebinekaan yang sedang digarap oleh MAARIF Institute diharapkan mampu menjawab tantangan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk yang saat ini masih banyak menjadi problem di Indonesia dan di berbagai negara lainnya. Dengan fikih kebinekaan ini, diharapkan para pemikir Islam Indonesia juga bisa mengekspor pemikirannya ke tingkat internasional. Fikih kebinekaan bisa menjadi karya dari ulama-cendekiawan Indonesia yang bisa dipertimbangkan dan diimplementasikan di tingkat global.
Penulis adalah Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity, Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...