Filantrop Dunia Sumbang Rp6 Triliun untuk Lindungi Hutan
SAN FRANCISCO, SATUHARAPAN.COM – Sekumpulan filantrop internasional, berkomitmen menyumbangkan ratusan juta dolar AS untuk menyelamatkan hutan tropis, termasuk di Indonesia. Dana yayasan itu akan lebih mudah dicairkan ketimbang dana bantuan negara maju.
Sehari menjelang Pertemuan Puncak Iklim Global yang diselenggarakan pada 12 hingga 14 September 2018, hadir 4.500 delegasi dari seluruh dunia. Pada Selasa (11/9), sembilan yayasan mengumumkan komitmen penghijauan kembali senilai 459 juta dolar AS (Rp6 triliun) selama empat tahun ke depan.
"Ketika Bumi menghangat, banyak negara yang bergerak sangat lambat. Jadi kami sebagai filantrop harus bertindak," kata Darren Walker, Presiden Ford Foundation.
Jumlah dana bantuan tersebut dikumpulkan secara urunan oleh 15 organisasi, ditambah Pemerintah Norwegia yang menyumbang 33 juta dolar AS (Rp488 miliar) untuk proyek di Indonesia dan Brasil.
Charlotte Streck, Direktur Climate Focus di Amsterdam, mengatakan, jumlah dana yang digalang oleh yayasan-yayasan tersebut menjadikan mereka donatur terbesar program perlindungan hutan.
Norwegia sendiri, setiap tahun menganggarkan dana bantuan senilai 500 juta dolar AS (Rp7 triliun) untuk membantu negara-negara tropis. Namun, menurut Sterck, dana yang disiapkan gabungan yayasan itu lebih "fleksibel dan cair" ketimbang dana dari pemerintahan.
"Duit yang disiapkan sejumlah negara seperti Norwegia, Jerman, dan Inggris, kebanyakan berupa dana perwalian yang dikelola Bank Dunia dan PBB. Jadi dananya tidak bisa cair dengan mudah,” katanya.
Seringnya "sebuah proyek kekurangan 20.000 dollar AS (Rp296 juta) atau 50.000 dollar AS (Rp740 juta) hanya untuk mengerjakan satu hal, atau mengembangkan sebuah studi atau menyewa konsultan," kata Sterck merujuk pada kakunya sistem pencairan dana bantuan negara maju. "Dengan dana yayasan duit itu bisa dikucurkan."
Dana tersebut antara lain akan lebih banyak digunakan untuk membantu penduduk asli setempat, yang menggantungkan hidup dari hutan. Mereka akan dibantu mengamankan sertifikat tanah, agar tidak bisa diperjualbelikan kepada perusahaan swasta tanpa persetujuan mereka.
"Perusahaan-perusahaan ini datang ke desa kami, ke hutan kami dan bilang 'kalian harus pergi karena kami punya lisensi dari pemerintah'," kata Rukka Sambolinggi, Koordinator Internasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Bukti-bukti menunjukkan komunitas pribumi adalah pihak yang bisa menjaga lahan, yang mereka huni dengan paling efektif," kata Darren Walker, Presiden Ford Foundation. "Dengan cara itu mereka memastikan level gas rumah kaca tidak mengancam manusia dan planet Bumi," katanya.
Selain membantu suku asli setempat, dana bantuan penghijauan hutan itu akan disalurkan untuk membantu perlindungan, restorasi dan perluasan lahan hutan, serta menyokong komunitas untuk menggunakan hutan secara berkelanjutan.
Meski saat ini hampir separuh luas hutan di Bumi dikelola oleh suku asli, hanya 15 persen yang diakui milik mereka secara sah. Ilmuwan meyakini hutan membantu mengurangi 30 persen emisi karbon dioksida dari atmosfer Bumi setiap tahunnya. Namun penggundulan hutan demi kegiatan industri, terutama pertambangan dan perkebunan, melumat kawasan hutan seluas 50 lapangan bola setiap menitnya. (dw.com)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...