Final Piala Dunia 2018: Mitos Siklus Dua Puluh Tahunan (?)
Jelang Final Piala Dunia 2018: Kroasia vs Prancis
SATUHARAPAN.COM - Sepanjang penyelenggaraan Piala Dunia sejak pertama kali tahun 1930 banyak rekor, drama, maupun mitos yang melingkupi pertandingan dan hasil-hasilnya.
Mitos juara bertahan selalu gagal pada fase grup seolah memakan korban Jerman pada PD 2018, namun mitos itu sudah dimentahkan oleh timnas Brasil pada PD 1998 yang datang sebagai juara bertahan dan melenggang hingga partai puncak meskipun dikalahkan Prancis pada PD 1998.
Mitos juara Piala Konfederasi tak akan menjadi juara Piala Dunia bertahan hingga saat ini. Dari sepuluh kali penyelenggaraan Piala Konfederasi, juaranya gagal menjadi juara Piala Dunia. Mitos lain yang masih bertahan semenjak tahun 1950 adalah jika tim yang menjadi peringkat pertama FIFA akan gagal menjadi juara di piala dunia tahun tersebut. Lagi-lagi Jerman seolah terkena kutukan tersebut.
Mitos lain menyebutkan bahwa Jerman Barat mengutuk Inggris tidak akan menjadi juara lagi. Mitos ini masih bertahan sampai sekarang. Pencapaian terbaik The Three Lions sejauh ini hanya sampai semi final, meskipun tensi antara kedua kesebelasan sesungguhnya adalah karena kerapnya Jerman menahan langkah kesebelasan Inggris pada turnamen besar seperti Piala Eeopa dan Piala Dunia.
Mitos dalam penyelenggaraan Piala Dunia akan terus ada dan yang mungkin yang paling ditunggu-tunggu adalah siklus 20 tahunan akan melahirkan juara baru terutama pada tahun-tahun berakhiran angka delapan. Kesebelasan Italia (1938), Brasil (1958), Argentina (1978), Prancis (1998) adalah juara baru pada tahun-tahun itu meskipun mereka menjadi juara karena penampilannya yang dominan.
Mitos sebagai Beban atau Semangat Memenangi Piala Dunia?
Dalam hal teknis dan non-teknis hampir dipastikan dua kesebelasan yang tampil pada partai puncak Piala Dunia 2018, Kroasia dan Prancis telah melewati momen-momen krusial yang mengantar mereka ke laga puncak.
Kroasia yang harus menjalani tiga laga dalam permainan yang menguras tenaga-pikiran karena harus diselesaikan dalam perpanjangan waktu secara berturut-turut, meskipun Modric dan kawan-kawan seolah sudah menjalani refresh saat menundukkan Inggris di laga semi final. Begitupun Prancis yang secara efektif mampu meredam permainan adaptif Belgia dalam kepercayaan diri yang tinggi mengingat mereka mampu menundukkan kandidat kuat juara dunia Belgia yang memiliki seluruh modal teknis dan non-teknis di atas kesebelasan lainnya.
Krosia menjalani enam laga menghadapi tim-tim kuat dengan gaya bermain yang bervariasi. Nigeria yang datang dengan skuad muda dan permainan bertenaga mampu mereka redam dengan permainan bola-bola pendek yang efektif. Fase grup mereka menangi dalam pertandingan yang atraktif. Tiga laga dalam fase gugur dijalani Kroasia yang menguras energi (fisik, emosi, mental) mereka lewati dalam perjuangan yang berat.
Salah satu ujian terberat Kroasia adalah saat menghadapi tuan rumah di babak 8-besar. Menghadapi Rusia yang tiba-tiba mengubah gaya permainannya yang cenderung bertahan dengan serangan balik bergelombang memaksa Kroasia bermain dalam babak tambahan waktu dan adu penalti. Permainan yang menguras energi tersebut bertambah berat manakala penonton tuan rumah menjadi pemain kedua belas. Begitu besarnya tekanan pertandingan, sampai-sampai pemain bertahan Domagoj Vida meluapkan kegembiraannya saat memenangi adu penalti dengan aksi politis yang tidak simpatik yang sempat memicu sedikit ketegangan antara kedua negara sehingga FIFA memberikan teguran kepada Vida atas aksi selebrasi tersebut.
Dalam berbagai kondisi permainan, Kroasia relatif lebih teruji. Denmark dengan pertahanan rapatnya yang mereka kalahkan melalui drama adu penalti tetap harus mengambil bola dari jaringnya. Hal yang tidak bisa dilakukan Prancis saat ditahan Denmark pada fase grup C dengan hasil 0-0. Saat menghadapi Argentina di fase grup D, Kroasia menundukkan Messi dan kawan-kawan dengan tiga gol tanpa balas. Prancis yang bertemu Argentina di babak 16-besar menyingkirkan Messi dan kawan-kawan dalam permainan ketat dalam hujan gol 4-3.
Meski begitu dalam dua laga selanjutnya Pogba dan kawan-kawan menampilkan performa terbaiknya saat mengalahkan dua kesebelasan yang memiliki permainan terorganisir yang rapi: Uruguay dan Belgia. Uruguay yang begitu perkasa saat mengalahkan Christiano Ronaldo dan kawan-kawan melalui permainan efektifnya, di hadapan Pogba-Kante seolah mati kutu dan tidak mampu mengembangkan permainannya. Kalah kelas, itu yang terbaca saat Suarez dan kawan-kawan disingkirkan Prancis di babak 8-besar, sehingga penjaga gawang Fernando Muslera yang jarang membuat kesalahan pun membuat blunder mengantisipasi tendangan Griezmann.
Performa Prancis berlanjut saat menghadapi Hazard dan kawan-kawan di semi final. Jika sebelumnya Prancis selalu berusaha untuk bermain dalam penguasaan bola yang dominan, menghadapi kesebelasan Belgia Pogba dan kawan-kawan menerapkan permainan yang efektif. Sebuah tendangan sudut dapat dimanfaatkan oleh Samuel Umtiti dengan sundulan untuk menaklukkan Courtois dan mengubur mimpi Belgia dengan menutup rapat pertahanannya. Barisan gelandang-penyerang Belgia yang biasanya kreatif membongkar pertahanan lawan melalui berbagai perubahan pola permainan sepanjang pertandingan gagal mengembangkan permainannya. Alih-alih membuat gol, possesion ball tidak cukup bagi Hazard dan kawan-kawan mengejar ketinggalan satu gol. Di hadapan Pogba-Kante, tiga serangkai Fellaini-Hazard-De Bruyne seolah mati kutu.
Dua kesebelasan melewati pertandingan dalam tekanan yang tinggi dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Meski begitu, sejauh ini baik Kroasia maupun Prancis mampu bertahan dengan besaranya tekanan yang dialaminya. Tekanan pertandingan pada laga final akan lebih banyak ditanggung Prancis sebagai kesebelasan yang pernah menjadi juara dunia. Hanya dalam hal kebugaran tim, Prancis memiliki persiapan yang lebih lama dibanding Kroasia terlebih Modric dan kawan-kawan menjalani tiga laga mulai dari babak 16-besar hingga semi final dalam babak perpanjangan waktu.
Ada kesamaan permainan Prancis dengan kesebelasan Inggris dimana mereka punya senjata mematikan dari bola-bola mati. Ini menjadi salah satu kelemahan pemain Kroasia dalam mengantisipasi tendangan bola-bola mati. Gol Trippier dari tendangan bebas yang tidak bisa diantisipasi Subasic, ataupun sundulan Mario Fernandez memanfaatkan tendangan bebas Dzagoev menjadi gambaran bagaimana Kroasia selalu kedodoran mengatisipasi bola-bola mati.
Materi-komposisi pemain, taktik-strategi, sudah dilewati kedua kesebelasan finalis PD 2018. Keduanya memiliki permainan yang atraktif dengan gaya masing-masing namun tetap adaptif terhadap permainan lawan. Dalam situasi-kondisi demikian, tim yang efektif bermainlah yang akan memenangi pertandingan. Dalam hal menciptakan peluang, baik Kante, Pogba, Griezmann, Mbappe, maupun Brozovic, Perisic, Modric, Kovacic, adalah barisan pemain yang sudah tidak diragukan kreativitasnya baik dalam level klub maupun timnas. Kemampuan membaca permainan di atas rata-rata pemain kesebelasan lain. Yang menjadi tantangan adalah faktor non-teknis: memenangi pertandingan dalam ketenangan bermain.
Dan tentang mitos siklus dua puluh tahunan? Ini akan menjadi hal yang menarik ditunggu mengingat mitos tersebut secara langsung ataupun tidak langsung dapat hadir di lapangan pertandingan dalam bentuk beban atau justru semangat. Prancis yang punya beban untuk tidak terkena kutukan siklus dua tahunan tersebut tentu akan bermain sebaik-baiknya memanfaatkan peluang menjadi juara dunia kedua kalinya yang sudah di depan mata. Sementara bagi Kroasia, menjadi juara baru Piala Dunia terlebih saat bersamaan dengan siklus dua puluh tahunan akan memperpanjang usia mitos tersebut. Lebih dari itu, juara baru tentu akan memberikan warna baru pula bagi perkembangan sepakbola di masa datang. Hanya yang harus diingat, sepakbola adalah tentang permainan dua kesebelasan dengan dua puluh dua pemain dan berbagai kemungkinan yang terjadi sepanjang pertandingan. Sepakbola adalah tentang bermain secara tim. Tidak bisa ditentukan oleh satu-dua pemain, apalagi hanya sebatas mitos.
Namun dalam era saat ini dimana mitos-mitos itu ditolak mentah-mentah oleh kesebelasan manapun, tapi diam-diam juga dipercaya oleh para pemainnya. Apakah Kroasia akan melanjutkan mitos tersebut atau Prancis yang justru menguburnya? Pertandingan di lapangan yang akan menjawabnya.
Pertandingan final antara Krosia melawan kesebelasan Prancis akan berlangsung pada Minggu (15/7) di Stadion Luzhniki, Moskow.
Perkiraan susunan pemain:
Kroasia (4-2-3-1) : Subasic (gk), Vida, Corluka, Strinic, Lovren/Jedvaj, Rakitic, Brozovic, Perisic, Modric, Kovacic, Mandzukic/Pjaca | pelatih: Zlatko DaliÄ
Perancis (4-2-3-1) : Lloris (gk), Hernandez, Umtiti, Varane, Pavard, Toliso, Kante, Pogba, Griezmann, Mbappe, Giroud. | pelatih: Didier Deschamps
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...