Fundamentalis Anggap Kesetaraan Gender Berlawanan Islam
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Direktur Program Rumah KitaB (Rumah Kita Bersama) Lanny Octavia mengatakan, bahwa bagi kelompok fundamentalis, kesetaraan gender dianggap tidak memiliki dasar dalam Islam.
Menurut anggota Jaringan Islam Liberal ini, bagi kelompok fundamentalis kesetaraan gender adalah proyek kafir barat untuk merusak keluarga muslim. Dalam pemikiran kelompok ini, perempuan, kata dia, diperbolehkan memiliki aktivitas tetapi dengan beberapa persyaratan.
"Tidak dilakukan di malam hari, tidak mengabaikan suami/anak, tidak bercampur antara jenis kelamin dan sebagainya," kata Lanny dalam diskusi “Perempuan-Perempuan Fundamentalis” di Utan Kayu 68 H Jakarta Timur, Rabu (26/11) malam.
Lebih jauh, Lanny menjelaskan kaum fundamentalis menerapkan pembagian kerja berbasis gender dengan menekankan domestifikasi perempuan dan peran mereka sebagai ibu dan istri. Namun, sebagian mereka meminggirkan perempuan yang dianggap sebagai aurat—yang tidak boleh ditampilkan di muka publik—dan memicu fitnah sehingga mereka meniadakan atau meminimalkan kehadiran perempuan di ranah publik.
Sebagian yang lain, lanjutnya, memobilisasi dan meningkatkan partisipasi perempuan di publik demi menyukseskan agenda mereka."Ini dibolehkan atas nama 'dakwah' dan didasarkan pada sejarah sahabat perempuan," ia menegaskan.
Masih kata Lanny, pada ranah domestik jenis kelamin menentukan perbedaan peran. Posisi perempuan kerap diidentikkan dengan rentan terhadap ancaman.
Selian itu kata Lanny merebaknya gerakan fundamentalis setelah Reformasi, yang sebagian merupakan kelanjutan dari gerakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII) dan sebagian lain merupakan bagian dari gerakan Islam transnasional.
"Tren radikalisme muncul dalam aksi kekerasan seperti pengeboman dan peyerangan rumah ibadah, hotel, kafe dan lain-lain, dalam bentuk wacana seperti perjuangan menegakkan kekhalifahan global, syariat Islam," kata dia.
Dikatakan Lanny radikalisasi keagamaan kerap diasumsikan sebagai aktivitas maskulin. Dan, terjadi hanya dalam domain laki-laki. Padahal, tidak mungkin sebuah gerakan sosial keagamaan berkembang tanpa keterlibatan perempuan.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan khawatir dalam kebijakan mendiskriminasi perempuan dalam kurun waktu tiga tahun ada 365 peraturan daerah, ini naik dua kalilipat dari tahun sebelumnya. Salah satu aturan yang disoroti adalah Qanun Jinayat di Nanggroe Aceh Darussalam.
“Sekarang sudah ada 365 perda daerah yang mengacu pada syariat Islam. Dengan adanya otonomi daerah, kekuatan pemahaman konservatif akan lebih besar,” katanya.
Editor : Bayu Probo
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...