Gairah Protestanisme dan Gerakan Civil Society di Indonesia
Penguatan gerakan civil society merupakan salah satu piranti untuk mengatasi radikalisme di Indonesia.
SATUHARAPAN.COM– Hari ini, 31 Oktober 2017, kita memperingati dan merayakan 500 ratus tahun gerakan pembaruan Gereja yang dipelopori Martin Luther. Rasa syukur atas gerakan pembaruan itu telah mendorong sejumlah sejarawan protestan Indonesia menyempatkan diri mengunjungi dan menghadiri beberapa seminar tentang protestanisme di Jerman pada tahun lalu. Semangat merayakan 500 tahun gerakan pembaruan gereja itu seolah menegaskan apa yang pernah dikatakan Alister E. McGrath dalam bukunya Christianity’s Dangerous Idea:The Protestant Revolution—A History from the Sixteenth Century to the Twenty-First (2007:478): ”Protestantism has had its moments in the past; it will have them again in the future.... We have seen that Protestantism possesses a unique and innate capacity for innovation, renewal, and reform based on its own internal resources. The future of Protestantism lies precisely in Protestantism being what Protestantism actually is.”
Mengacu pada catatan McGrath inilah kita ingin ikut merayakan 500 tahun protestanisme dengan cara membaca relevansi gairah protestanisme (passion of protestantism) terhadap gerakan civil society yang diawali gerakan reformasi pada 1998 dalam rangka membangun Indonesia yang demokratis.
Perkembangan gerakan civil society dalam membangun masyarakat Indonesia yang semakin demokratis itu sedang dalam tantangan yang serius dengan kemunculan gerakan-gerakan refeodalisme dalam bentuk gerakan radikalisme keagamaan. Membaca perkembangan terakhir itu rasanya gairah protestanisme dalam bentuk gagasan eklesiologis Luther tentang imamat am orang percaya (1Ptr. 2:9-10) mendapat relevansi dalam konteks Indonesia masa kini—ketika identitas keagamaan sering kali menjadi komoditas politik sehingga merusak hubungan sosial humanis antarsesama warga negara Indonesia.
Gairah Imamat Am Orang Percaya dan Penguatan Gerakan Civil Society
Inilah salah satu tantangan nyata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia: sikap intoleransi dari gerakan radikalisme keagamaan. Kecenderungan itu memang ada pada setiap agama. Itu berarti untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang demokratis dibutuhkan upaya serius untuk mengatasi segala bentuk radikasisme.
Muhammad A.S. Hikam, dalam bukunya Deradikalisasi (2016), melihat bahwa penguatan gerakan civil society merupakan salah satu piranti untuk mengatasi radikalisme di Indonesia. Kita, tentu saja, sepakat dengan Muhammad A.S. Hikam. Karena penguatan civil society sebagai bentuk kemandirian warga masyarakat akan menciptakan masyarakat Indonesia yang tidak gampang didikte oleh ajaran yang merendahkan harkat dan martabatnya sebagai imago Dei ’citra Allah’ (Kej. 1:26-27).
Namun, dengan memperhatikan perkembangan budaya masyarakat kita yang cenderung sedang mengalami ”proses refeodalisasi” (In Nugroho Budisantoso dalam Basis Nomor 03-04, Tahun Ke-65, 2016), kelihatannya mengupayakan penguatan gerakan civil society membutuhkan keterlibatan lembaga-lembaga keagamaan, termasuk Gereja. Gereja sebagai institusi keagamaan yang memiliki peran kepublikan di Indonesia juga berada dalam pusaran proses penguatan gerakan civil soviety itu.
Di sinilah relevansi penemuan Luther tentang gagasan eklesiologis berbasis imamat am orang percaya. Dengan mengedepankan gairah protestanisme tentang imamat am orang percaya hidup, maka gereja-gereja Indonesia akan lebih menghidupi dan mengairahkan semangat kemandirian, egaliter, meritokrasi dan demokratis. Semangat hidup menggereja seperti ini akan mampu membendung proses-proses refeodalisasi sebagaimana dikhawatirkan In Nugroho Budisantoso.
Sebaliknya, kekristenan Indonesia justru menjadi sumber inpirasi model penguatan gerakan civil society di Indonesia. Peran kepublikan seperti inilah yang akan menjadikan gagasan eklesiologis keumatan Luther mendapat relevansi dalam konteks Indonesia masa kini. Terutama sekali dalam rangka penguatan gerakan civil society sebagai salah satu cara untuk membendung bahaya radikalisme yang mengancam kehidupan sosial keindonesiaan kita. Sebab, sejatinya radikalisme, tidak lain daripada bentuk lain refeodalisme yang berpusat pada—meminjam ungkapan Max Weber—pemimpin karismatik!
Dalam gagasan eklesiologis imamat am orang percaya pemimpin karismatik diterima bukan tanpa sikap kritis. Dalam gagasan eklesiologis ini, oleh kuasa Roh Kudus, sifat kepemimpinan karismatik itu bersifat distributif kepada seluruh umat Allah dan bukan bersifat akumulatif dalam diri satu orang saja. Pendek kata: gairah protestanisme mengatasi mentalitas monarki dan semangat oligarki, baik dalam Gereja maupun dalam masyarakat. Sebagai anak-anak Allah, semua manusia setara. Karena itu, setiap individu dan kelompok masyarakat mempunyai hak dan kewajiban sosial kemasyarakatan yang sama sesuai talenta masing-masing.
Melampaui Politik Identitas Eklesial Minoritas Kreatif
Itulah kiranya roh peringatan gerakan pembaruan gereja 500 tahun lalu yang dirintis oleh Luther dan kawan-kawannya. Peringatan ini juga sekaligus menantang sebagian Gereja-gereja Protestan (di) Indonesia, yang juga memiliki kecenderungan mengembangkan budaya refeodalisme pada era otonomi daerah sekarang ini. Terutama sekali kecenderungan politisi Kristen dan pimpinan Gereja yang masih ingin meneruskan mentalitas politik identitas eklesial minoritas kreatif dalam proses-proses politik lokal dan nasional.
Kita berharap, peringatan 500 tahun Reformasi Gereja makin menyadarkan para politisi dan pemimpin umat Kristen Indonesia bahwa peran kepublikan orang-orang kristen Indonesia masa kini ialah bersama-sama dengan saudara-saudari sebangsa dan setanah air tanpa membedakan agama untuk terus-menerus menggairakan gerakan civil society sebagai pendorong proses-proses demokratisasi yang semakin efektif di Indonesia. Terutama sekali dalam menghadapai proses refeodalisasi masyarakat Indonesia dalam bentuk radikalisme yang didorong oleh beberapa pemimpin agama yang karismatik.
Sekali lagi, penguatan gerakan civil society dapat menjadi salah satu langkah strategis dalam membendung pertumbuhan radikalisme dalam berbagai bentuk, termasuk keagamaan. Sehingga pada saatnya Indonesia akan menjadi bangsa yang berwatak sosial demokratis, egaliter, dan meritokrasi dalam menjalani proses menjadi Indonesia secara berkelanjutan pada abad ke-21 ini!
Menggairahkan civil society sebagai bentuk dari kesadaran identitas eklesiologis ini akan memampukan setiap Kristen Indonesia memerdekakan diri dari mentalitas identitas eklesial misioner politik identitas minoritas kreatif yang semakin kehilangan relevansi dalam masyarakat majemuk Indonesia. Tanpa mengairahkan gerakan civil society, yang sadar kemajemukan agama, maka peringatan 500 tahun Gerakan Reformasi akan jatuh ke dalam romantisisme identitas eklesial misioner politik identitas minoritas kreatif.
Suatu bentuk politik identitas eklesial tanpa disadari menghidupi terus semangat penaklukan dan peniadaan yang lain. Sudah saatnya kekristenan Indonesia menghidupkan gairah prostetanisme sebagai gairah masyarakat kewargaan Indonesia yang memampukan setiap warga negara Indonesia—apa pun agama, suku, rasa dan pilihan kepartaian—menjadi warga negara keratif (creative-citizen). Menghidupkan gairah protestanisme seperti ini akan menumbuhkan sikap sosial politis warga Jemaat yang sadar dan menghargai perbedaan identitas keagamaan bukan lagi sebagai identitas pembeda untuk meniadakan yang lain (the others) melainkan sebagai potensi sosial yang saling memperkaya hidup bersama secara kreatif dan inovatif dalam membangun masyarakat majemuk Indonesia yang demokratis dan humanis.
Pendek kata: politik identitas eklesial yang memekarkan pertumbuhan potensi-potensi yang berbeda dari gerakan civil society, yang memperkaya percepatan, menjadikan Indonesia sebagai masyarakat majemuk yang demokratis dan humanis di tengah-tengah tantangan radikalisme sosial global sekarang ini!
Selamat merayakan 500 tahun gerakan pembaruan gereja sebagai hari lahir hati emansipatoris yang menyatukan dalam karya nyata untuk memajukan gerakan civil society dalam membangun masyarakat Indonesia demokratis!
Penulis adalah Pendeta GMIH dan Dosen STAKN Toraja dan STAK Maluku Utara
Editor : Yoel M Indrasmoro
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...