Gajah dan Keprihatinan Tulus untuk Penyelamatannya
SATUHARAPAN.COM - Penyanyi papan atas Indonesia, Tulus, menginisiasi kampanye #JanganBunuhGajah, untuk penyelamatan gajah sumatera. Kampanye itu didukung World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia.
Tulus, seperti dikutip dari situs resmi WWF Indonesia pada 7 April, tergerak hatinya untuk membantu upaya konservasi gajah sumatera. Donasi dari masyarakat yang tergerak hatinya akan digunakan untuk pelatihan pencegahan konflik antara gajah dan manusia, membeli perlengkapan tim patroli, perlengkapan pemeriksaan medis apabila ada gajah yang terluka, serta membiayai operasional sehari-hari anggota tim patroli.
Lewat kampanye itu Tulus juga mensosialisasikan kegiatan antiperburuan gajah untuk diambil gadingnya. Melalui penjualan merchandise bergambar gajah, ia menggalang dana dan keuntungannya akan diberikan kepada WWF-Indonesia untuk pemasangan GPS Satellite Collar.
Keprihatinan Tulus bukanlah keprihatinan tiba-tiba. Hatinya tergerak terjun dalam upaya penyelamatan gajah setelah kematian Yongki, gajah penggiring di Elephant Patrol, Tim Patroli Gajah WWF-Indonesia dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, pada 18 September 2015.
Yongki memang bukan gajah biasa. Bersama Tim Patroli, Yongki mencari jejak gajah liar, menggiring dan menghalau kembali ke hutan, lalu mengantar tim penggiring pulang ke posko. Yongki punya andil membantu mengatasi konflik manusia dengan gajah liar.
Lebih dari itu, Yongki pernah menjadi “bintang” di video klip Tulus, dalam lagu Gajah. Tak mengherankan, kematiannya yang tragis, karena dibunuh, menimbulkan kesedihan dan keprihatinan publik. Ungkapan duka pun mengalir di media sosial melalui tagar #RIPYongki, untuk gajah istimewa itu.
Yongki memang telah tiada. Namun, masih banyak gajah lain yang membutuhkan kepedulian kita. Kajian WWF-Indonesia menunjukkan populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kian hari kian memprihatinkan. Estimasi populasi tahun 2007 menunjukkan angka 2.400-2.800 individu. Kini diperkirakan angka itu menurun jauh karena habitat gajah terus menyusut dan pembunuhan terus terjadi.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk mendukung mitigasi konflik gajah. Salah satunya dengan memahami pergerakan dan penggunaan habitat oleh kelompok-kelompok gajah dengan memasang GPS Satelite Collar pada kelompok gajah liar yang sering berkonflik dengan masyarakat. Pemasangan GPS Satellite Collar ini sangat berguna untuk memantau keberadaan dan pergerakan gajah liar dan sebagai peringatan dini untuk mitigasi konflik gajah. Dengan demikian, informasi keberadaan dan pergerakan gajah liar akan diketahui dengan lebih akurat.
Spesies yang Sangat Terancam
Gajah sumatera, dengan nama trinomial Elephas maximus sumatranus, Temminck (1847) adalah subspesies dari gajah Asia yang hanya berhabitat di Pulau Sumatera. Gajah sumatera berpostur lebih kecil daripada subspesies gajah india.
Populasinya semakin menurun dan menjadi spesies yang sangat terancam. Pada survei tahun 2000, diperkirakan jumlahnya hingga 2.700 ekor di alam liar, dan data WWF Indonesia menunjukkan pada tahun 2007 menunjukkan angka populasi 2.400-2.800 di alam liar. Sekitar 83 persen habitat gajah sumatera telah beralih fungsi menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.
Gajah sumatera, menurut wikipedia.org, adalah mamalia terbesar di Indonesia. Beratnya mencapai 6 ton. Periode kehamilan untuk bayi gajah sumatera adalah 22 bulan. Umur rata-rata gajah sampai 70 tahun.
Herbivora raksasa ini dikenal sebagai satwa cerdas, memiliki otak lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air dengan cara memegang atau menggenggam bagian ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.
Gajah sumatera saat ini, terutama seluruh gajah Asia dan sub-spesiesnya, termasuk satwa terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam punah yang keluarkan oleh Lembaga Konservasi Dunia –IUCN. Di Indonesia, gajah sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah, yakni PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Masuknya gajah sumatera dalam daftar tersebut, seperti disebutkan WWF Indonesia, disebabkan oleh aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya, sedangkan sisa tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi.
Gajah sumatera merupakan “spesies payung” bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya, konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya.
Dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam. (wwf.or.id)
Editor : Sotyati
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...