Ganja dalam Khasanah Budaya dan Ragam Tetumbuhan Obat Nusantara
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menyambut Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2019 yang akan digelar pada 7-13 Oktober 2019 di Istora Senayan Jakarta, Yayasan Sativa Nusantara (YSN) bekerja sama dengan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dua organisasi yang konsen dalam melakukan kajian tanaman sebagai bagian kebudayaan yang tumbuh di nusantara (ethnobotani) menggalang dana dan bincang santai di Oxen Free, Jalan Sosrowijayan No. 2 Yogyakarta, Minggu (29/9).
Bincang santai yang dipandu oleh Agustinus Murtopo menghadirkan Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dan Petrus Ridanto Busono Raharjo atau biasa dipanggil Peter Dantovsky (Danto) dari Yayasan Sativa Nusantara (YSN).
Pada PKN 2019, YSN dan PKN akan mempresentasikan hasil kajian ethnobotani tentang tanaman ganja (Cannabis sativa) dalam kehidupan masyarakat di nusantara. Presentasi tersebut menjadi bagian dari program Konferensi PKN 2019 yang akan membahas berbagai isu potensial dalam perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan terhadap Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK). Lima belas isu yang akan dibicarakan dalam konferensi PKN, di antaranya isu Sastra Adaptasi, Kearifan Lokal Ekologi sebagai Sumber Daya Pemajuan Kebudayaan, Jalur Rempah, Paradoks Budaya 4.0, Etno Astronomi, Kebaya Talk.
“Kita tidak bicara spesifik tentang penelitian tanaman ganja. Namun kajian-penelitian tersebut berusaha untuk menempatkan atau menemukan bukti bahwa tanaman ganja sesungguhnya merupakan bagian dari rempah-rempah. Beberapa petunjuk hasil kajian kami mengarah bahwa tanaman ganja di masa lalu memiliki peran dalam perdagangan rempah-rempah nusantara,” papar Peter Dantovsky dari Yayasan Sativa Nusantara mengawali bincang santai, Minggu (29/9).
Lebih lanjut Danto itu mengungkapkan dalam kerangka ethnobotani, harapannya tanaman ganja bisa diterima dalam khasanah kekayaan budaya nusantara. Jejak tersebut salah satunya bisa dilihat dari relief Candi Borobudur di bagian Karmawibangga yang menceritakan satu tradisi yang melibatkan asap dimana ciri-ciri ritual selalu melibatkan unsur-unsur alam yakni air, api, hingga munculnya asap dalam ritual tersebut.
Selain relief di Candi Borobudur, Danto menjelaskan bahwa YSN juga melakukan kajian pada relief di Candi Kendalisodo yang berada di Gunung Penanggungan, Mojokerto, sebuah Candi Syiwa bertingkat tiga dengan puncak tertinggi terdapat lingga. Tiga tingkat menjadi gambaran dimana Dewa Syiwa menjadi raja bagi tiga dunia: bawah-tengah-atas.
“Di masa lalu, asap memiliki posisi penting dalam beberapa ritus keagamaan. Itu yang terdapat di Candi Borobudur. Relief dengan pahatan daun ganja ada di tingkat tengah (Candi Kendalisodo). Itu semacam ritual tantra,” jelas Danto.
Tanaman Ganja dalam Khasanah Budaya dan Tetumbuhan Nusantara
Dalam kajian tersebut Danto menjelaskan bahwa ritual tersebut adalah pancha makara puja yang hari ini diidentikkan dengan mo limo (Madon, Mendem, Maling, Main, Madat) yang dianggap sebagai penyakit masyarakat.
“Ketika Kertanegara (Singasari) diserang oleh menantunya Jayakatwang, diceritakan Kertanegara sedang mabuk dan melakukan pesta seks. Bisa jadi saat itu Kertanegara sedang melakukan pancha makara puja dan Jayakatwang tahu jadwal sehari-hari mertuanya,” jelas Danto tentang posisi pancha makara puja dalam ritual masyarakat di masa lalu.
Selain relief candi, Yayasan Sativa Nusantara juga melakukan kajian naskah kuno salah satunya Tajul Muluk, sebuah naskah kuno dari Aceh. Sebagian isi kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja) yang disusun Syekh Ismail Aceh pada zaman Sultan Ibrahim Mansur Syah (1837-1870 M) adalah tentang obat-pengobatan.
“Tajul Muluk itu (kalau dalam budaya Jawa) mirip primbon. Seluruh aspek kehidupan masyarakat (Aceh) supaya berjalan dengan baik diatur (dalam Tajul Muluk). Misalnya, bayi lahir hari apa sebaiknya diberi nama apa, kalau terjadi gempa pukul sekian efeknya seperti apa. Dan sebagian besar yang dimuat dalam Tajul Muluk berisi tentang pengobatan. Dicatat juga relasi antara masyarakat Aceh-Melayu dan tumbuh-tumbuhan. Banyak resep-resep pengobatan dan ternyata ada disebutkan ganja di dalamnya. Naskah tersebut nantinya akan juga kita pamerkan saat PKN 2019 dalam bentuk digital,” jelas Danto memaparkan hasil kajian arsip-literatur yang dilakukan YSN.
Dari keterangan yang diperoleh melalui diskusi intensif dengan Musri Musman, pakar kimia bahan alam Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Danto memperoleh informasi penting seputar pemanfaatan tanaman ganja dalam kehidupan manusia salah satunya untuk pengobatan.
Pengobatan di dalam Kitab Tajul Muluk dibahas tersendiri dan terpisah pada sebuah bab. Beberapa penyakit serta cara mengobatinya pun diterangkan secara detail. Mulai dari bahan obat yang digunakan, takaran hingga proses mengolahnya sampai cara menggunakan obat tersebut juga dijelaskan sangat rinci.
Sedikit yang membedakannya dengan dunia pengobatan modern terletak pada penamaan jenis penyakit. Misalnya di dalam Tajul Muluk disebutkan nama penyakit manis darah, yang dikenal sebagai diabetes atau kencing manis dalam dunia medis modern.
Disebutkan dalam Tajul Muluk, beberapa bahan obat yang disebutkan adalah lada hitam, jinten, gula batu, bunga Kanja (Ganja), Ofifum (Opium), dan sebagainya. Di halaman resep tersebut juga disebutkan takaran serta cara mengolahnya menjadi sebuah “majun” (pil bulat) serta aturan dosis pemakaiannya. Untuk mengobati manis darah, disebutkan masyarakat di sana menggunakan bagian akar dari tanaman ganja dengan cara direbus menggunakan air kemudian diminum.
Hal-hal demikian sudah berlangsung turun temurun dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Aceh. Diyakini pula bahwa diluar Tajul Muluk sebenarnya masyarakat Aceh sudah mengenal budaya ganja ratusan tahun silam serta sangat paham tentang pembenargunaannya.
Yayasan Sativa Nusantara bersama jejaringnya melakukan gerakan studi arsip untuk menelusuri kapan pertama kali ganja muncul dalam literatur media massa. YSN mencatat pada pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1945 ganja muncul di pemberitaan koran-koran di Hindia Belanda dalam bentuk iklan jamu-obat-obatan.
Setelah tahun 1945 tidak muncul pemberitaan tentang ganja. Baru muncul pada pertengahan tahun 1976 dalam bentuk penangkapan pengguna-pengedar ganja di Indonesia.
“(Setelah tahun 1976) Tidak ada pemberitaan tentang ganja dari sisi budaya dan yang bersifat anthropologis maupun pemanfaatannya. Yang ada adalah berita kriminal tentang ganja. Sehingga pembacaan sederhana tentang budaya ganja di Indonesia adalah budaya kriminalisasi, penangkapan, pembakaran lahan tanaman ganja,” ungkap Danto.
Serat tanaman ganja sebagai salah satu produk tanaman ganja pada masanya menjadi salah satu topik kajian YSN.
“Di masa lalu armada maritim kerajaan Sriwijaya adalah armada terkuat dunia sebelum lahirnya dinasti Tiongkok. Masih ada Singasari, Majapahit, yang sebenarnya semua maritim dengan armada laut yang kuat untuk mengontrol jalur sutra laut. Yang masih menjadi pertanyaan kami adalah kerajaan-kerajaan besar tersebut membangun armadanya dengan serat apa (untuk layar kapalnya). Tidak ada literatur maritim termasuk naskah yang ditulis Lapian yang menyebutkan penggunaan serat apa dalam armadanya. Kalau dari novel Arus Balik-nya Pram disebutkan menggunakan sutra sebagai layar kapalnya,” kata Danto.
Pada tahun 1937 Pemerintah Amerika Serikat melarang penanaman ganja. Namun seiring meletusnya Perang Dunia II, mereka memerlukan untuk menanam ganja sehingga pada awal tahun 1942 melalui Departemen Dalam Negerinya mengeluarkan kampanye Hemp for Victory.
Hemp for Victory merupakan himbauan dari Dept. Dalam Negeri AS kepada petaninya untuk menanam ganja yang dibuat dalam bentuk film. Di awal-awal film narator menyebutkan bahwa mereka perlu untuk menanam hemp lagi untuk kebutuhan militer karena selama ini kawasan yang menyediakan hemp terbesar telah dikuasai oleh Jepang. Dalam narasi tersebut narator film menunjuk sebuah peta wilayah penyedia hemp terbesar yakni seluruh kepulauan Nusantara.
“Aneh juga ketika sampai saat ini justru kita sendiri tidak memiliki jejak pemanfaatannya (ganja),” Danto menambahkan.
Petunjuk lain terdapat dalam buku yang ditulis Jack Harrer berjudul The Emperor Wears No Clothes, Jack Harrer menampilkan perangko tahun 1930-an dengan ilustrasi ibu-ibu sedang menjemur serat hemp di North Kalimantan Republic. Hemp sendiri mengacu pada sebutan ganja untuk kebutuhan industri.
“Pada satu sesi diskusi menghadirkan wartawan senior almarhum Suharjendro saya bertanya mengapa orang Jawa kalau menyebut baju itu dengan istilah hem. Suharjendro menjawab itu merk baju. Saya kejar lagi apa tulisannya hemp? Beliau menjawab ya memang begini tulisannya h-e-m-p. Saat saya jelaskan bahwa arti hemp itu sebenarnya adalah serat ganja, Suharjendro menjawab yo mungkin wae, wong bahane apik kok (mungkin saja, karena memang bahannya bagus),” jelas Danto tentang diskusi dengan Suharjendro.
Dari diskusinya bersama mendiang Suharjendro, Danto mencatat hal penting. Berikut kutipannya: “Sejak saya kecil, dulu, para Romo Londo (pastur Belanda) kalau menyebut baju berkerah ya, hem. Mungkin dulu para pastur itu sering berkata kepada Koster (pembantu) nya, tolong siapkan hem saya. Atau, para pegawai birokrasi Kolonial para ndoro tuan, bertanya kepada jongosnya, apakah hem saya yang kowe cuci sudah kering? Mungkin dulu begitu. Koster atau jongos itu sangat mungkin pernah juga diberi hadiah hem oleh pastur atau tuannya. Makanya, orang kita kalau mendengar kata hem, ya, bayangannya adalah baju.”
Tanaman Ganja dan Kontroversinya
“Lingkar Ganja Nusantara lahir tahun 2010, dengan melakukan advokasi ke Kementerian Kesehatan RI dengan campaign ganja medis untuk pengobatan. Dari pihak Kemenkes menyambut baik terkait riset karena memang diatur oleh UU,” jelas salah satu pegiat LGN Dhira Narayana.
Tahun 2012 LGN diwakili oleh pakar kimia bahan alam Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Musri Musman bersama pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Edward Omar Sharif Hiariej mempresentasikan potensi tanaman ganja sebagai bahan pengobatan hingga keluar surat ijin pada tahun 2014 berkenaan dengan riset-kajian tanaman ganja untuk medis dengan catatan mendapat persetujuan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) RI.
“Dalam UU Narkotika mencakup pengembangan pengetahuan yang berada dalam domain Kementerian Kesehatan, pemberantasan oleh Kepolisian, pencegahan-penanggulangan-penyalahgunaan oleh BNN, serta rehabilitasi oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial,” jelas Dhira
Namun Dhira menambahkan bahwa Surat Ijin yang dikeluarkan Kemenkes RI itu sebenarnya tidak bisa dipakai, karena dalam realitasnya begitu pihaknya mau jalan (untuk riset-kajian) terbentur pada BNN. Dan sebagaimana diketahui bersama BNN dibuat untuk mengkriminalisasi tanaman ganja. Ini tentu menjadi problem kita semua.
“Ini saya jelaskan supaya lebih jelas konteksnya, dan tidak sekedar menyalahkan BNN karena itu memang bagian dari sistem global yang dibangun,” jelas Dhira.
Dhira menjelaskan bahwa pemanfaatan ganja menjadi permasalahan global dimana sebenarnya sistem tersebut dibentuk untuk memungkinkan hanya negara-negara besar saja yang memonopoli tanaman ganja dan pemanfaatannya.
Lebih lanjut dalam uraian yang cukup panjang Dhira menjelaskan.
“Bagaimana caranya memonopoli tanaman ganja? Caranya dengan kriminalisasi. Itu yang terjadi. Hanya negara-negara tertentu yang boleh menanam dan melakukan riset terkait tanaman ganja, di antara Amerika Serikat, China, Israel, Inggris, Rusia, Prancis, berikut perusahaan obat-farmasinya. Ini paradoks, ketika di Indonesia tanaman ganja ilegal justru negara yang pertama kali meng-ilegal-kan ganja yaitu Amerika Serikat, hari ini mereka memiliki industri pemanfaatan ganja yang gila-gilaan. Di saat hari ini kita dipaksa menerima (oleh Amerika Serikat) bahwa ganja bisa disalahgunakan, justru sekarang AS sendiri mengakui bahwa hal tersebut merupakan kekeliruan. Ini ada yang bisa disalahgunakan, namun ada juga yang bisa dimanfaatkan secara besar-besaran oleh industri,” imbuh Dhira
Pemanfaatan tanaman ganja dalam kerangka isu medis dihadapkan pada kenyataan dimana industri farmasi dengan pengobatan tradisional yang kerap diposisikan bertolak belakang. Dalam pijakan kajian yang digunakan oleh LGN, pemanfaatan tanaman ganja dalam realitasnya masih belum diakui sebagai bagian dari kebudayaan nusantara.
“Kita tidak menghalangi farmasi untuk jalan, tapi kita juga minta supaya yang secara tradisi juga diakui oleh negara. Karena itu LGN mendorong pendekatannya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Minimal diakui dulu bahwa pemanfaatan tanaman ganja sebagai bagian kebudayaan kita. Itu sesuatu yang hari ini tidak ada di benak masyarakat Indonesia. Ganja yang kita tahu sekarang itu ganja yang kita rekreasi itu bagian dari kebudayaan barat. Belajar nyimeng bukan dari orang tua atau kakek kita, tapi dari film-buku. Di Indonesia, ganja hari-hari ini adalah kriminal,” tutur Dhira lebih lanjut.
Tanaman Ganja, Manfaat dan seputar Permasalahan Hukum.
“Yang paling menentang penyalahgunaan ganja itu LGN. Makanya kita campaign-nya adalah pembenargunaan: pemanfaatan yang benar dari tanaman ganja itu seperti apa,” jelas Dhira menanggapi tentang berbagai kasus penyalahgunaan ganja di Indonesia.
Dari kajian arsip yang dilakukan YSN, Danto menjelaskan bahwa permasalahan-kasus ganja muncul pertama kali di Indonesia secara formal sejak tahun 1976 sejak dikeluarkannya UU No. 9/Tahun 1976. Sebelum dikeluarkan UU tersebut yang digunakan adalah UU tentang Obat Bius dimana problem yang muncul masih seputar penyelundupan dan perdagangan gelap. Hingga awal tahun 1976 belum muncul istilah narkotika.
Sebelum UU tersebut (UU No. 9/Tahun 1976) disahkan, Danto menjelaskan adanya operasi besar-besaran dengan nama Operasi Gurita melibatkan pihak kehakiman-kejaksaan, TNI-Polri. Dari operasi tersebut mulai muncul terminologi kriminal pada penggunaan ganja dan sejenisnya. Saat itu mulai ada penangkapan bagi pengguna maupun pengedarnya.
“Waktu itu juga sudah dirancang sistem rehabilitasi, dimana UGM dan Unika Soegijapranata Semarang banyak membicarakan sistem tersebut. Saat itu juga ada inisiatif TNI-Polri untuk meng-upgrade kemampuan intelijen pada personelnya di awal tahun 1976 menjelang diterbitkannya UU tersebut untuk mengantisipasi munculnya kejahatan-kejahatan baru dengan modus-modus yang belum pernah dikenal saat itu,” papar Danto.
Muncul pertama kali penangkapan terhadap kasus penyelundupan ganja di Bandara I Gusti Ngurah Rai - Denpasar, dengan satu kesimpulan ganja akan menjadi masalah di kemudian hari. Kasus kriminalisasi ganja-narkotika fluktuasinya menurun saat menjelang tahun-tahun politik. Bahkan hampir-hampir tidak ada kasus penangkapan, kalah dengan berita kampanye.
“Setelah masa reformasi terbit lagi UU yang baru (UU No. 35/2009). Kriminalisasi secara serius dan sistematis (terhadap penanganan kasus narkotika) terjadi pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mulai ada badan yang menangani tentang narkotika: Badan Narkotika Nasional (BNN), kampanye war of drugs secara serius. Statusnya meningkat menjadi darurat narkotika pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo,” jelas Danto saat memberikan ilustrasi perjalanan penanganan permasalahan hukum berkaitan dengan peredaran-penggunaan ganja di Indonesia.
Tanaman ganja masuk dalam jenis perdu-perduan (herba). Di dunia tanaman ganja (Cannabis sativa) memiliki tiga subspesies yakni C. Sativa L. subsp. sativa, subsp. indica, dan subsp. ruderalis. Di wilayah nusantara subsp. sativa dan subsp. indica di masa lalu banyak ditanam dan dibudidayakan. Persilangan kedua subspesies yang dianggap memiliki kualitas bagus tersebut telah melahirkan ribuan strain baru.
Sejak dulu China banyak menanam dan mengembangkan tanaman ganja salah satunya untuk dimanfaatkan seratnya. Budaya kertas yang telah lama tumbuh di China mendekatkan China dengan pemanfaatan serat ganja. Dari serat ganja yang berasal dari akar-ranting-batang bisa dibuat produk tali, kain, dan juga kertas dengan kualitas terbaik.
Batang dan daging buah ganja juga bisa diolah menjadi sumber energi (ethanol) yang relatif ramah lingkungan. Sementara dari bijinya bisa dihasilkan minyak maupun sumber karbohidrat dalam bentuk sereal dengan kandungan karbohidrat yang minim kolesterol dan kaya antioksidan yang bermanfaat bagi tubuh manusia.
Tanaman ganja mengandung THC (tetrahydrocannabinol). Dalam ukuran tertentu gugus karbon THC memberikan efek kepada tubuh manusia dalam tingkat yang berbeda mulai dari efek menenangkan hingga fly. Adanya efek tersebut ganja rentan disalahgunakan oleh manusia yang sifatnya rekreasi. Efek buruk tersebut tentu tidak sepadan jika disebandingkan dengan manfaat tanaman ganja untuk diambil serat, biji sumber pangan (sereal), sumber energi, maupun untuk pengembangan medis.
Dalam perkembangan lebih lanjut ditemukan juga bahwa ganja mengandung Cannabidiol atau biasa disebut dalam dunia medis sebagai CBD, zat kimia yang dihasilkan dari ekstrak tanaman ganja. Tak seperti Tetrahydrocannabino (THC) yang bisa membuat penggunanya 'fly', CBD tak menimbulkan efek mabuk.
Mengutip HowStuffWorks, THC dan CBD memberikan dampak berbeda. Joshua Kaplan, peneliti ganja dari Western Washington University, mengatakan bahwa CBD memiliki 65 target yang diketahui berada di otak dan tubuh. CBD mengaktifkan reseptor serotonin yang berperan penting untuk mengobati kecemasan. Hal itu kemudian ditindaklanjuti oleh Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang kerap diresepkan sebagai obat antidepresan.
Dilansir dari laman www.lgn.or.id , ganja merupakan tanaman mengandung banyak minyak berpotensial memiliki manfaat kesehatan, menurut sebuah studi dalam Journal of Agricultural and Food Chemistry.
Hemp adalah tanaman keturunan dari ganja, yang telah digunakan selama ribuan tahun dalam industri tekstil, obat-obatan dan makanan, oleh orang-orang di seluruh dunia. Hemp tidak memiliki efek psikoaktif karena hanya mengandung THC rendah (0,3%) dan telah disahkan oleh Uni Eropa dan pasar ekonomi global untuk hemp rendah THC, digunakan dalam obat-obatan, kertas dan kain.
Para peneliti menganalisis dan menemukan bahwa beberapa komponen minyak biji ganja efektif untuk mempromosikan kesehatan dengan baik. Minyak biji hemp mengandung sterol, alkohol alifatik and asam linoleat. Asam linoleat yang terkandung dalam minyak biji hemp adalah asam lemak omega-3 yang di beberapa studi telah diakui bisa mencegah penyakit jantung koroner.
Sterol adalah steroid alkohol. Para ahli mengetahui bahwa sterol berguna dalam menurunkan tingkat kolesterol, dan mengkonsumsi sterol setap hari telah dikaitkan dengan rendahnya risiko serangan jantung.
Alkohol alifatik yang terkandung dalam minyak biji hemp juga telah dikenal untuk menurunkan kolesterol dan mengurangi agregasi platelet. Salah satu alkohol ini, fitol, dikaitkan dengan manfaat antioksidan dan antikanker, dan juga dapat ditemukan dalam makanan yang sehat seperti bayam, kacang-kacangan, sayuran mentah dan asparagus.
Antioksidan lain dalam minyak biji hemp adalah tokoferol, yang diketahui bermanfaat terhadap penyakit turunan, seperti aterosklerosis dan Alzheimer. Tokoferol adalah senyawa antioksidan yang larut dalam lemak dan ditemukan dalam minyak sayur. Vitamin ini diperlukan untuk pengembangan otot, sel darah merah, dan reproduksi normal. Kekurangan vitamin ini menyebabkan kulit kering berlebihan.
Manfaat lainnya, minyak biji hemp juga telah menunjukkan efek positif pada penyakit dermatologis dan metabolisme lipid (proses dimana asam lemak dipecah dalam tubuh).
Biji hemp juga mengandung banyak vitamin A, C dan E dan β-karoten, dan kaya akan mineral seperti fosfor, kalium, magnesium, sulfur dan kalsium. Sebagai makanan, minyak hempseed bergizi – mengandung keseimbangan yang sangat baik dari asam lemak tak jenuh ganda – dan rasanya yang enak juga.
Pada 2013, Medical News Today melaporkan hasil studi yang menunjukkan bahwa kandungan THC ganja pada medis bermanfaat bagi orang yang memiliki penyakit autoimun [medicalnewstoday].
“Ada satu buku berjudul Reefer Men yang ditulis oleh jurnalis Tony Thompson, dimana untuk bisa mengungkap fakta yang terjadi dalam perdagangan ganja dan sejenisnya dia ikut terlibat didalamnya,” jelas Dhira memberikan ilustrasi awal munculnya permasalahan seputar tanaman ganja.
Saat PBB mengeluarkan konvensi tentang narkotika dan untuk pertama kali memasukkan ganja kedalam narkotika setara dengan putaw, opium, heroin, dll tahun 1961. Pelarangannya waktu itu adalah zat, sementara ganja sendiri merujuk pada fisik tanaman. Melalui propaganda yang intensif tanaman ganja dimasukkan kategori kriminalisasi bagi pengguna-pengedarnya.
“Analoginya vitamin C dengan jeruk. Misalnya vitamin C-nya berbahaya harusnya jeruknya gak apa-apa. Vitamin C nya yang gak boleh. Ini ganja sama, THC-nya dianggap berbahaya seluruh tanamannya jadi dikriminilisasi. Itu terjadi tahun 1961. Setelah tahun 1961 propaganda dilanjutkan dengan narasi bahwa tanaman ganja membuat orang menjadi bego, menjadi pemalas, tidak produktif, lemah otak,” tutur Dhira.
Lebih lanjut Dhira menambahkan, sebelum tahun 1961 propagandanya adalah orang kulit hitam menjadi lebih agresif (membunuh, memperkosa, berbuat kekerasan), bahkan sebelum tahun 1945 propagandanya adalah orang-orang Hispanik dari Amerika Selatan pergi ke Amerika Serikat mencari pekerjaan, mereka yang tidak mendapat pekerjaan akhirnya berbuat kriminal mencuri, merampas, dan lain sebagainya dan yang dijadikan kambing hitam atas tindak kriminal itu adalah ganja.
Realitas hari ini, di Amerika Serikat yang paling banyak dipenjara karena kasus ganja adalah orang kulit hitam dan orang hispanik Amerika Selatan. Kondisi ini menjadi justifikasi oleh Amerika Serikat untuk mengatakan bahwa ganja berbahaya karena menyebabkan penggunanya bisa berbuat sedemikian rupa.
Saat awal PBB mengeluarkan konvensi tentang ganja tahun 1961, Indonesia tidak ikut meratifikasinya. Studi arsip yang dilakukan YSN menyebutkan bahwa dalam rentang tahun 1945-1961 tidak ditemukan berita penyalahgunaan ganja.
Baru setelah Indonesia meratifikasi konvensi PBB pada tahun 1976 diikuti dengan fatwa haram dari MUI tentang narkotika, termasuk ganja di dalamnya. Bukan penggunaannya, tapi seluruh bagian tanaman ganja, permasalahan seputar penyalahgunaan ganja mulai bermunculan.
Dhira menyebutkan kajian LGN lebih lanjut tentang ganja menemukan bahwa alasan di balik upaya PBB melakukan kriminilasi tanaman ganja adalah mencari bagaimana caranya agar hanya anggota pemilik hak veto saja yang bisa melakukan pemanfaatan tanaman ganja.
“Kriminalisasi itu menjadi sebuah metode untuk menakuti kita supaya tidak tahu lebih, supaya diam, supaya menganggap itu hal yang tabu untuk diperbincangkan, memikirkan inovasi terkait tanaman ganja. Kalau bisa (oleh pemerintah) dihapus dari kebudayaan kita dengan cara apa? Dibakar. Apa bedanya dengan NAZI saat membakar buku sebagai sumber pengetahuan. Bagi masyarakat Indonesia, tanaman adalah sumber ilmu pengetahuan. Batu saja bisa jadi sumber pengetahuan. Nggak ada matinya kita belajar pengetahuan dari tanaman,” ungkap Dhira.
Pada perkembangan peradaban manusia, saat era bercocoktanam manusia mulai menetap pada satu tempat, bercocok tanam di situ, berkembang biak, kerkesenian, dan seluruh aktivitas kehidupan. Dari awal era bercocoktanam, keluarga sativa digunakan manusia untuk membangun peradaban. Makanya lahir kertas yang sejarahnya berasal dari serat ganja. Pengetahuan-pengetahuan itu melalui kriminalisasi ganja coba untuk diputus, supaya negara-negara yang memiliki previlege (AS, China, Rusia, Prancis, Inggris, ditambah Israel) memanfaatkan tanaman ganja bisa membuat produk-produk maupun pengetahuan baru yang bisa mereka jual.
“Sativa itu nama yang sangat istimewa dalam dunia botani. Artinya budidaya. Ada beberapa jenis tanaman yang menggunakan nama sativa: bawang, padi. Dibudidayakan di awal-awal era menanam agar manusia mempunyai dapur. Membangun peradaban dari lingkungan terdekat yang tidak harus pergi-pergi: rumah dan pekarangan serta masyarakat sekitar,” imbuh Dhira.
Dhira menambahkan di Uruguay ganja dilegalkan oleh negara namun dalam pengawasan. Masyarakat boleh menanam dalam luasan tertentu, dengan benih tertentu, dan menjual dalam jaringan yang sudah ditetapkan oleh negaranya. Tanpa menyebutkan nama, masyarakat tentu paham pihak mana yang selama ini memonopoli kebutuhan benih dan segala perangkatnya untuk budidaya pertanian di pasar global dunia internasional.
“Rencananya hasil kajian-riset ini akan dibuat buku, ke depannya dengan banyak narasumber, banyak kebudayaan nusantara (dalam pemanfaatan ganja) sehingga nantinya akan dikembangkan menjadi film dokumenter terkait hal tersebut,” pungkas Danto mengakhiri bincang santai.
Membangun kebudayaan adalah membangun manusia dalam berbagai aras-arah. Kebudayaan yang turut membangun peradaban manusia sepanjang waktu, seharusnya tidak bisa dikriminalkan karena di ranah tersebut dialog-dialektika masyarakat terus berkembang. Dan tentunya memberikan warna bagi peradaban manusia itu sendiri.
Beijing Buka Dua Mausoleum Kaisar Dinasti Ming untuk Umum
BEIJING, SATUHARAPAN.COM - Dua mausoleum kaisar di Beijing baru-baru ini dibuka untuk umum, sehingga...