“Gatuk”, Karya Seni, Aroma Kopi dan Dialog Sore Hari
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Delapan lukisan dipajang pada dua dinding. Di sebelahnya sebuah alat untuk menyangrai kopi (coffee roaster machine) berkapasitas 6 kg baru saja dibersihkan dan siap untuk digunakan me-roasting biji kopi segar (green bean) yang diletakkan di atas rak di tengah ruangan. Di bagian ruang lainnya seorang barista sedang sibuk menyiapkan pesanan kopi dari pengunjung. Di teras depan dan samping yang terhubung langsung dengan rimbunnya rumpun bambu menjadi tempat pengunjung Warung Kopi DST bercengkerama menikmati sajian minuman yang diolah langsung dari biji kopi segar.
Aroma kopi segar yang sedang disajikan berpadu dengan harum gosong green bean matang roasting-an menjadi sajian tersendiri presentasi karya seni rupa dari kelompok Bangku Belakang yang terdiri dari delapan mahasiswa angkatan 2015 jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta. Kedelapan mahasiswa tersebut adalah Dimas Tri Sakti, Fandi Angga Saputra, Farraz Away, Hisyam Faruq, I Made Dabi Arnasa, Kuat Yudi Santoso, Nugroho Hilman Habibi, dan Tri Julianto.
Menjadi kebiasaan yang sudah cukup lama dimana kelompok/komunitas seni di Yogyakarta baik yang besar maupun kecil, satu angkatan, lintas angkatan, lintas disiplin seni menjadi ruang persemaian dalam proses kekaryaan. Dalam perjumpaan di ruang tersebut mereka kerap mendialogkan mulai dari ide-pemikiran berkaitan karya maupun hal-hal remeh lainnya. Perjumpaan tersebut pada tahapannya akan memberikan warna bagi proses yang dilaluinya. Fenomena ini menarik jika membandingkan dengan kota-kota lain yang tidak seintensif Yogyakarta.
Dari ruang perjumpaan tersebut bahkan kerap melahirkan aktivitas yang justru jauh dari seni. Aktivitas sosial misalnya. Pada tahun 2017 kelompok Bangku Belakang membuat sketch charity untuk penggalangan dana yang dipersembahkan bagi anak-anak yang menderita kanker.
Pameran yang mengangkat tajuk “Gatuk” dibuka oleh seniman-perupa Laksmi Sitharesmi, Jumat (13/9) sore di Warung Kopi DST.
“Ini menjadi upaya kami untuk banyak belajar dalam banyak hal terutama yang berkaitan dengan seni rupa tidak melulu dari bangku kuliah. Bangku Belakang menjadi ruang bagi kami mendiskusikan tidak hanya proses seni. Pada pameran yang pertama ini kami mencoba belajar tentang mengelola sebuah pameran seni rupa. Benar-benar mulai dari nol. Pemilihan tema, tempat untuk presentasi karya, termasuk karya yang akan dipresentasikan dengan tema yang ada mengingat setiap anggota memiliki ketertarikan maupun kecenderungan dalam berkarya yang lebih beragam dan berbeda,” jelas Fandi Angga Saputra kepada satuharapan.com, saat pembukaan pameran.
Menjadi pameran perdana bagi kelompok Bangku Belakang, “Gatuk” hanya mempresentasikan satu karya dua matra dari masing-masing anggotanya. Selain menjadi ruang bermain-main, “Gatuk” sekaligus menjadi sounding awal atas kecenderungan warna karya kedelapan seniman-perupa muda tersebut.
Realis-surealis terekam dalam karya Dabi berjudul “Cerita tentang Rumah”, sebuah metafora manusia dalam realitas kehidupan yang sunyi dan sendiri tanpa rumah, dimana justru alam sekitar adalah rumah yang menyimpan kenangan dan kerinduan tanpa harus menghadirkan bangunan rumah itu sendiri.
Hilman Nugroho Habibi dalam karya grafis menggunakan teknik cukil kayu (wood cut print) mengeksplorasi anatomi kuda dalam karya berjudul “Stable”. Sementara Fandi Angga Saputra dengan lukisan figur anak-anak dalam dunia surealis berjudul “Brother Story” dalam citraan warna soft-pastel yang menjadi kecenderungan karya seniman-perupa muda hari ini.
Hingga pertengahan tahun 2000-an, cafe mulai menjadi ruang alternatif pameran seni rupa di Yogyakarta, salah satunya Via-via cafe di Jalan Prawirotaman yang hingga hari ini masih sering menggelar pameran seni rupa. Hadirnya galeri seni di Yogyakarta semisal Sangkring art space, Tahunmas art room, maupun galeri seni rupa lainnya sekitar pertengahan tahun 2000-an berbarengan dengan booming seni rupa saat itu dan menjadikan kembali ruang seni (art gallery) sebagai ruang pameran sedikit banyak berpengaruh pada minat seniman menggelar pameran seni rupa di cafe, terlebih saat pasar seni rupa Indonesia dan dunia mengalami kelesuan pasar sekitar sejak awal tahun 2010-an.
Selain Via-via cafe, Asmara art & coffee shop di Jalan Tirtodipuran bahkan membuat program untuk memberikan ruang bagi seniman-perupa mempresentasikan karyanya dengan nama Asmara rupa. Asmara art & coffee shop kerap menggelar pameran seni rupa dengan menggabungkan konsep pertunjukan musik hidup (live music) dari kelompok musik Yogyakarta dan tidak jarang kelompok musik manca negara.
Pilihan tempat di Warung Kopi DST cukup menarik mengingat warung kopi tersebut letaknya tidak strategi, berada di sebuah perkampungan yang cukup jauh dari keramaian dan pusat kota. Bisa jadi keintiman dan suasana tempat menjadi pilihan seniman-perupa muda dalam mempresentasikan karyanya sekaligus untuk menangkap dialog yang berkembang selama presentasi karya berlangsung.
Sambil menikmati seduhan kopi Anda bisa memperbincangkan segala hal termasuk karya yang sedang dipresentasikan tanpa harus dibebani dengan kerumitan-kerumitan yang terkandung di dalam karya tersebut. Sebuah tawaran yang menarik diantara dialog sore Anda.
Pameran perupa muda bertajuk “Gatuk” berlangsung di Warung Kopi DST Tamantirto, Kasihan-Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta hingga 21 September 2019.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...