Gedung Konser Jadi Sasaran Teror Paris karena Dikira Milik Yahudi
PARIS, SATUHARAPAN.COM - Teater Le Bataclan di Paris dipilih menjadi sasaran oleh teroris pada hari Sabtu (13/11), diduga karena gedung itu dianggap milik orang Yahudi dan karena sikap pengelola gedungnya yang mendukung kebijakan Israel di Palestina.
Dari total 129 orang yang tewas sejauh ini dalam apa yang dikenal juga sebagai Tragedi Paris, sedikitnya 89 orang tewas di gedung itu pada Jumat malam yang dilakukan oleh empat pelaku teror.
Sebagaimana dilaporkan oleh breitbart.com, Le Bataclan sudah sering mendapat ancaman dalam satu dekade terakhir, terutama karena dukungan mereka terhadap negara Israel dan penolakan mereka menghentikan kegiatan-kegiatan pro Israel yang dilangsungkan di tempat tersebut.
Dalam tragedi yang telah dikutuk oleh seluruh dunia itu, polisi berhasil melepaskan lebih dari 100 sandera, tetapi tiga orang polisi juga ikut kehilangan nyawa.
Salah seorang saksi mata, Pierre Janaszak, mengatakan kepada MailOnline: "Saya jelas mendengar mereka mengatakan 'Ini kesalahan Hollande, itu kesalahan dari presiden Anda, dia seharusnya tidak campur tangan di Suriah'."
Ancaman demi ancaman telah pernah diterima oleh pengelola gedung Bataclan. Antara tahun 2006 dan 2009, Le Bataclan menyelenggarakan penggalangan dana tahunan Prancis untuk mendukung polisi perbatasan Magav, Israel. Hal itu kemudian menjadi penyebab intimidasi terhadap teater itu.
Pada tahun 2008 ketika sedang berlangsung operasi Cast Lead di Gaza, sekitar selusin orang yang berpakaian seperti keffiyah membuat film tentang diri mereka untuk mendekati tempat penyelenggara acara tersebut dan mengeluarkan ancaman.
"Ini adalah sesuatu yang kami tidak bisa terima terus," salah satu pria mengatakan kepada penjaga keamanan di luar Le Bataclan ketika itu. Ia menambahkan: "Anda akan membayar konsekuensi dari tindakan Anda."
Pada akhir video dari orang yang sama, suara elektroniknya terdistorsi, dan mengatakan kepada kamera: "Kami datang ke sini untuk menyampaikan pesan kecil. Berhati-hatilah. Lain kali kami tidak akan datang ke sini untuk bicara."
Dua bulan kemudian, pada Februari 2009, sebuah serangan bom di Kairo terjadi yang menargetkan remaja Prancis berusia 17 tahun, Cécile Vannier. Vannier tewas dalam serangan tersebut
Pihak keamanan Prancis kala itu mengaitkan pemboman Kairo dengan dukungan Prancis untuk tindakan blokade oleh Israel di Jalur Gaza. Tapi pada tahun 2011, sebuah laporan oleh Le Figaro mengungkapkan bahwa anggota Jaish al-Islam atau Tentara Islam - yang telah melakukan pengeboman yang merencanakan serangan di Le Bataclan.
Salah seorang warga Belgia yang terlibat dalam serangan itu, menyebut nama Farouk Ben Abbes, yang telah ditangkap di Kairo dan telah dikonfirmasi oleh Direktorat Jenderal untuk Keamanan Eksternal (DGSE) bahwa ia "sedang merencanakan serangan terhadap Le Bataclan di Prancis."
Dan salah satu kaki tangannya, seorang wanita Prancis bernama Dodi Hoxha menegaskan: ". Kami memiliki rencana serangan terhadap La Bataclan karena pemiliknya Yahudi."
Pada kenyataannya, gedung itu kini dikelola oleh Jules Frutos dan Olivier Pubelle yang bukan orang Yahudi.
Meskipun demikian, Liga Pertahanan Yahudi Perancis (LDJ) yakin bahwa tempat itu menjadi target karena sikap pro-Israel pengelola gedung. Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah serangan hari Jumat, LDJ menulis: "Kelompok-kelompok pro-Palestina secara terbuka menyebut gedung itu sebagai gedung konser Zionis, dan sekarang mari kita lihat hasilnya."
Sementara itu kelompok Pro-Palestina telah menolak dikaitkan dengan Teror Paris. Nicolas Shashani, seorang aktivis pro-Palestina terkemuka Prancis mengatakan kepada Forward.com: "Le Bataclan mungkin memiliki kaitan dengan Zionis di masa lalu, tetapi jika pelaku ingin memilih situs terkait dengan Israel untuk mengirim pesan, saya kira itu bukan target yang efektif."
"Dalam serangan sebelumnya, ada target yang jelas. Tentara, polisi, supermarket halal. Kali ini, serangan itu terhadap kafe, restoran, stadion sepak bola, dan orang-orang di jalan."
Dia juga menolak anggapan bahwa band yang tampil di gedung konser menjadi sasaran target. The Eagles dari Death Metal baru-baru ini tampil di Tel Aviv di mana vokalisnya, Jesse Hughes, mengatakan kepada massa bahwa Roger Waters, mantan anggota Pink Floyd dan promotor aksi boikot terhadap Israel, memintanya untuk tidak melayani undangan manggung di Turki.
Tetapi Jesse Hughes mengabaikan larangan itu. "Saya menjawab dengan dua kata, "F**ck you!," kata dia kepada khalayak. Ia juga menambahkan, "Saya tidak dapat memboikot tempat seperti ini."
Polri Tangkap Buron Pengendali Clandestine Lab di Bali Asal ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengamankan satu orang dar...