Gelar Kreativitas Girli 2015 di Malioboro Yogyakarta
SATUHARAPAN.COM - Pada ulang tahunnya yang ke-34, Komunitas Pinggir Kali, yang biasa disebut Girli, mengadakan Gelar Kreativitas Girli. Mengangkat tema "Saksi Mata", perhelatan itu digelar di sekitar Kantor Pusat Informasi Pariwisata Malioboro, Yogyakarta, 14-15 November, untuk mengenang kawan-kawan yang telah pergi, baik meninggal dunia, ataupun hilang tak tentu rimbanya. Penyelenggaraan tahunan kali ini adalah yang ke-19 kalinya sejak pertama dilakukan di tempat yang sama.
Erik Komo, Ketua Pelaksana Gelar Kreativitas Girli 2015, menjelaskan selain melukis bersama yang dilakukan pada Sabtu (14/11), pada hari Minggu (15/11) di halaman Kepatihan, Jl Malioboro, digelar perform art dari Jathilan Cokro Suro, Tari Jaranan Anak, serta Tari Bima NTB.
Pada malam harinya, Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bojonegoro, Pandeglang, Kampung Rambutan, Bulungan, Batu, turut memeriahkan panggung musik yang dipasang di halaman Kepatihan. Panggung musik dimeriahkan juga oleh KPJ Joyoboyo, Pak Wek, Doni Suwong, Rastabil, KPJ Malioboro, Burger Time, Just Like This, serta Girli, selaku tuan rumah. Dalam setahun, Girli melakukan tiga kali gelaran seni budaya yakni Apeman Ruwahan, 17-an Agustus, serta Gelar Kreativitas.
Komunitas Girli yang dimotori Sopo Yono (bass), Imam B Rastanagara (perkusi/kendang-jimbe), dan Heru (vokal/gitar akustik) itu, memainkan beberapa lagu karya sendiri, di antaranya Saksi Mata, Badut, Suara Alam, yang berisi kritik-kritik sosial, maupun kepedulian pada lingkungan.
KH Abdul Muhaimin dari Forum Persaudaraan Umat Beragama Yogyakarta yang juga pengasuh Ponpes Nurul Ummahat Kotagede-Yogyakarta, membuka acara dengan memimpin doa dan memotong tumpeng sebagai simbol Tumuju moro Pengeran (Menuju pada Tuhan YME). Sebelumnya Abdul Muhaimin memberikan sedikit gambaran tentang Yogyakarta yang masih kondusif bagi keberagaman, namun begitu untuk mewujudkan kedamaian dan ketenangan tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum semata. Setiap orang harus berkontribusi untuk menciptakan kondisi yang damai di Yogyakarta. Yogyakarta adalah rumah bersama, sehingga ketenangan dan kedamaian bergantung pada penghuninya.
"Etika dan kemanusiaan inilah yang bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan hal tersebut. Radikalisme dan fundamentalisme (atas nama agama, ras-suku) bisa dikikis ketika kesadaran bersama atas nilai universal etika dan kemanusiaan dipahami setiap individu. Mewujudkan Yogakarta sebagai city of tolerance, adalah tugas bersama bagi penghuninya tanpa melihat agama-keyakinan, suku, maupun status (sosial) lainnya." Abdul Muhaimin menandaskan, sesaat setelah selesai memimpin doa.
Girli, Sisi Lain Yogyakarta
Komunitas Girli diinisiasi salah satunya oleh Didit Adinanta bersama YB Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun pada awal tahun 1980-an di Kampung Code, di sekitar Jembatan Gondolayu Yogyakarta. Pada awal berdirinya, Girli merangkul cah nyemir (anak yang bekerja sebagai tukang semir) dan anak jalanan di Malioboro. Pada saat hampir bersamaan, Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Malioboro turut merangkul anak jalanan di Malioboro.
Untuk mengantisipasi garukan pada masa itu oleh aparat setelah bekerja seharian di Malioboro, sore menjelang malam Girli bersama KPJM mengajak cah nyemir dan anak jalanan untuk pulang ke Kampung Code Gondolayu. Di tempat itu disediakan semacam rumah singgah. Satu hal yang diajarkan oleh Romo Mangun adalah "piye carane iso urip mandiri (bagaimana cara bertahan hidup secara mandiri di atas kaki sendiri)."
Dalam perjalanannya, seniman maupun mahasiswa ISI Yogyakarta (ASRI, Asdrafi, ASMI), dan juga mahasiswa lainnya, mulai masuk ke komunitas Girli, sedikit banyak memberikan sentuhan cara berkesenian pada Girli. Bakat, belajar otodidak, berbagi ide-pemikiran menjadi katalis bagi perkembangan seni pada mereka selanjutnya.
Di Kampung Code-Gondolayu itulah mereka belajar tentang kebersamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Pembelajaran bersama secara tidak langsung membentuk pola kerja sosial dalam bentuk relawan (voluntary) dalam kehidupan sehari-hari yang banyak membantu mereka.
Bencana yang melanda wilayah Yogyakarta semisal gempa pada tahun 2006, letusan Gunung Merapi, hingga dampak letusan Gunung Kelud, menjadi ujian bagaimana tangan-tangan tidak terlihat jaringan sosial itu bekerja.
Di tengah-tengah bencana yang terjadi, dengan jaringan yang dimilikinya, mereka turut membantu korban bencana. Dalam hal mitigasi bencana, ini bisa menjadi bagian dari sistem peringatan dini (early warning system) bagi wilayah Yogyakarta yang berada di wilayah rawan bencana.
Malioboro dengan dialektikanya yang terus berjalan telah banyak melahirkan seniman-sastrawan besar semisal Emha Ainun Nadjib, Sawung Jabo, serta Umbu Landu Paranggi, guru bagi penyair-penyair Yogyakarta. Di tengah perkembangan kota yang semakin anonim bagi penghuninya (termasuk juga Yogyakarta), realitas komunitas Girli dengan kreativitasnya sejauh ini telah memberikan warna lain yang menghidupi Malioboro dan Yogyakarta secara umum.
Tiga puluh empat tahun adalah gambaran bagaimana Girli tetap konsisten untuk menjaga kebersamaan, persaudaraan, kedamaian, sebagai gambaran kemanusiaan itu sendiri. Seperti lirik lagu Sawung Jabo yang dinyanyikan Doni Suwong malam itu: "...Seperti air kami mengalir/Seperti mentari kami berputar/Seperti gunung kami merenung/Di lingkaran kami berpandangan/Di lingkaran kami mengucapkan/Aku cinta padamu..."
Editor : Sotyati
Bahaya Aneurisma Otak dan Cara Penanganannya
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM - Dokter Subspesialis Aneurisma Mardjono Tjahjadi dari Mandaya Royal Hosp...