Gempa, Cara Tuhan Menyentuh Nias
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Gempa adalah sebuah cara Tuhan menyentuh masyarakat Nias. Meski caranya sakit, tetapi ada hikmah dan ada pesan yang dapat diangkat dari peristiwa itu.”
Begitulah cara Direktur Lembaga Rumah Nias sekaligus Pegiat Pelestarian Budaya Nias Ester Telaumbanua memaknai gempa bumi yang melanda pulau itu pada 2005 silam itu.
Bila dulu secara tradisional masyarakat memahami gempa sebagai wujud kemarahan dari alam, kini menurut Ester, secara keimanan, gempa dimaknai sebagai cara Tuhan menyampaikan pesan tersembunyi.
“Setelah mereka menangis karena peristiwa ini, hikmah yang diambil adalah Nias mulai dikenal oleh warga baik nasional maupun internasional. Secara tiba-tiba seluruh orang tahu ada pulau kecil yang namanya Nias. Perhatian dunia begitu besar terhadap Nias,” ujar Ester yang ditemui di Gedung Sinar Kasih, Cawang, Jakarta Timur, Sabtu (28/3) siang.
Satu dekade setelah gempa, perkembangan pembangunan Nias pun dinilai cukup pesat. Bahkan secara politis, Nias kini telah dimekarkan menjadi lima kabupaten dan kota yang siap memenuhi persyaratan menjadi provinsi. Kabupaten dan kota itu adalah Nias, Nias Selatan, Nias Barat, Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
Dengan perkembangan otonomi daerah, struktur pejabat daerah pun menjadi berkembang.
“Itu membuat upaya pembangunan masuk dan mulai merata. Meski masih banyak kekurangan, ini sebuah proses yang terus menerus akan berlangsung. Semoga akan menjadi kebaikan bagi Nias setelah peristiwa itu,” ujar Ester.
Meski banyak nilai yang dapat dipetik dari gempa Nias, proses untuk membangkitkan masyarakat dari trauma gempa tak cukup mudah. Diakui Ester, masyarakat mula-mula mengalami trauma karena sebelum gempa besar 28 Maret 2005 terjadi, tiga bulan sebelumnya telah terjadi tsunami.
“Dua kali terjadi dan seperti beruntun. Kalau dipandang ke belakang, sentuhan gempa ini sampai satu bulan. Namun Nias yang selama ini terisolisasi dan terlupakan sudah membuat Nias kuat menghadapi kehidupannya. Tanpa terasa mereka juga sudah terbiasa,” ujar Ester.
Tuhan, kata dia, telah mempersiapkan masyarakat Nias menghadapi kejadian yang lebih besar dari peristiwa bencana ini.
Keterpurukan pun tak membuat warga putus asa.
“Kepasrahan mereka terhadap kondisi alam yang terus menerus terjadi membuat mereka terbiasa dengan pergulatan itu. Gempa-gempa ini bukan hanya terjadi sekali. Jauh sebelum itu gempa sudah terjadi di Nias. Pada tahun 2004 juga terjadi. Secara periodik Nias mengalami gempa rutin, namun jangka waktunya memendek,” ujar Ester.
Momen 28 Maret dimaknai sebagai sebuah turbulensi yang mengangkat masyarakat Nias keluar dari keterpurukan. Kehidupan masyarakat pun berangsur-angsur berubah untuk meneruskan hidup yang lebih baik.
“Sekarang sudah ada menteri orang Nias. Itu menunjukkan perhatian terhadap Nias sudah ada. Selanjutnya, kualitas sumber daya manusia juga terangkat,” ujar Ester optimistis.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...