Gencatan Senjata Suriah, Apa Selanjutnya?
SATUHARAPAN.COM – Sudah lima tahun lebih mata dunia menyoroti dengan duka konflik bersenjata bersimbah darah di Suriah. Dan dalam dua hari ini sejak Senin (12/9) sore, ada kelegaan sedikit, karena pemerintah dan pemberontak menyepakati gencatan senjata.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa hari Selasa (13/9) suasana tenang, dan warga merasakan suasana tanpa suara roket yang diluncurkan dan bom-bom yang dijatuhkan dari udara. Apakah ini hanya akan terjadi dalam 48 jam, atau ada harapan bahwa konflik akan mereda?
Suasana tenang terutama dirasakan di wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak atau pasukan pemerintah Bashar Al-Assad, yang sekarang merupakan sebagian besar wilayah Suriah.
Sedangkan wilayah yang dikuasai oleh kelompok teroris dari Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS) tidak termasuk dalam kesepakatan gencatan senjata, namun itu merupakan wilayah yang jauh lebih kecil ketimbang kondisi sebelumnya. Dan para pihak tetap menyatakan perang dengan ISIS.
Faktor Kekuatan Luar
Kesepakatan itu dicapai dalam perundingan antara menteri luar negeri dua negara: Amerika Serikat (John Kerry) dan Rusia (Sergei Lavrov). Jadi, tampak jelas bahwa gencatan senjata yang ditaati oleh pemerintah dan pemberontak Suriah merupakan hasil tekanan yang kuat dua negara itu.
Sudah begitu gamblang bahwa pihak di luar Suriah sangat berpengaruh pada perang di negeri itu. Rusia merupakan pendukung utama pemerintah Bashar Al-Assad, selain Iran. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sejumlah negara Arab mendukung kelompok pemberontak.
Perang telah begitu lama dan telah menelan banyak korban, menurut catatan PBB sekitar 290.000 jiwa, dan jutaan penduduk harus mengungsi hingga ke negara lain. Pengungsi telah menjadi krisis di Eropa, dan terbanyak setelah Perang Dunia II.
Perang Suriah seperti tanpa ujung, karena para pihak terus memperoleh tambahan kekuatan, dengan dukungan ‘’mesiu’’ dari pihak luar. Selama lima tahun nyaris para pihak hampir tidak kekuarangan ‘’peluru’’ untuk menembak ‘’musuh’’ yang sebenarnya bangsa sendiri.
Perang Suriah adalah demonstrasi blak-blakan dari perang proksi, di mana kepentingan luar begitu nyata, dan para pihak di Suriah hanyalah ‘’petarung’’ yang menjadi buta, bahkan terhadap nasib bangsa sendiri.
Hari Depan Suriah
Dari situasi sekarang ini, hari depan Suriah tampaknya makin jauh dari tangan bangsa Suriah sendiri. Solusi untuk Suriah makin jelas berada di tangan kedua kubu: kelompok pimpinan Rusia di satu sisi dan AS di pihak lain.
Peta konflik ini jelas-jelas kompleks, karena selain hadirnya kepentingan kedua negara besar, hadir juga di kancah itu konflik dan persaingan di Timur Tengah. Hal ini terutama yang melibatkan perseteruan Iran dan Arab Saudi, masalah Kurdi bagi Turki, dan keterlibatan kelompok Hizbullah di Lebanon. Situasi ini bahkan bisa ditelusuri hinggamasalah di Yaman, Irak, Afganistan, dan konflik sektarian di Pakistan.
Di internal Suriah sendiri peta konfliknya tak kalah kompleks, karena silang sengkarut kepentingan negara besar dan kepentingan negara-negara di Timur Tengah saling bersinggungan. Ini tercermin juga dalam faksi-faksi di pemberontak Suriah di mana mereka seting tersandung dalam mengambil sikap bersama dalam perundingan.
Dari aspek isu, peta konflik Suriah cukup kompleks, karena menyangkut perebutan kekuasaan dan politik, sehingga bagaimana negara akan dikelola sulit dibayangkan. Sementara konflik sektarian yang sudah begitu lama dan dalam, dan juga konflik kesukuan, serta kehadiran ISIS yang menebar tragedi. Situasi ini bahkan memburamkan bayangkan tentang bagaimana Suriah bisa disatukan kembali.
Berbagai upaya perundingan terus menemui jalan buntu, terutama karena perhatian gagal difokuskan pada kepentingan nasional Suriah. Sementara kepentingan pihak luar, sejauh ini terlalu sulit untuk dipertemukan, padahal semakin dominan seiring ketergantungan para pihak di Suriah dengan dukungan luar.
PBB Minta Jaminan Keamanan
Yang merisaukan dari kesepakatan gencatan senjata kali ini adalah masih adanya permintaan badan PBB untuk jaminan keamanan untuk menjangkau warga sipil dan memberikan bantuan keamanusiaan. Hal ini menjadi sangta penting dan mendesak bagi wilayah-wilayah yang terkepung oleh pertempuran yang nyaris tanpa jeda.
Namun permintaan PBB itu mencerminkan bahwa kesepakaran gencatan senjata ini terlalu rapuh. Jika untuk memberi kesempatan masuknya bantuan kemanusiaan, masih sulit, bagaimana mungkin untuk menjadi langkah penting menuju solusi damai melalui kesepakatan politik?
PBB sendiri tampaknya kehilangan kekuatan untuk membangun perdamaian di sana, karena konflik Suriah berada juga di tangan pihak-pihak yang ‘’mengendalikan’’ PBB. Dan justru itu, para pihak di luar Suriah itulah yang sekarang kuncinya, dan harus berubah menjadi kekuatan penyelesaian, bukan kekuatan konflik.
Masalahnya, apa selanjutnya setelah gencatan senjata? Berperang lagi atau berunding lagi? Kalau berunding, pihak mana yang harus menekan negara-negara luar dan kepentingan mereka?
Editor : Sabar Subekti
PM Lebanon Minta Iran Bantu Amankan Gencatan Senjata Perang ...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Perdana Menteri sementara Lebanon pada hari Jumat (15/11) meminta Iran untuk...