Generasi Muda Kristen Galang Persatuan dalam Keberagaman di Asia
SATUHARAPAN.COM – Lebih dari 350 pemuda dari 23 negara di seluruh Asia berkumpul di pertemuan Asia Ecumenical Youth Assembly (AEYA) di Manado, Sulawesi Utara, penggal awal April ini. Di pertemuan pertama yang diadakan setelah terakhir kali dilaksanakan 34 tahun lalu itu, mereka memperbincangkan cara mengatasi berbagai masalah terkait geliat dunia global saat ini.
Enam hari bergumul, ketika kembali ke negara asal masing-masing, mereka telah membawa wawasan baru tentang dialog antaragama, digitalisasi, spiritualitas, kecerdasan artifisial, isu gender, HIV/AIDS. Tak ketinggalan berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, perdagangan manusia, migrasi, nilai-nilai keluarga, dan marjinalisasi. Mereka datang, berkumpul, sebagai murid Yesus, untuk merenungkan, beribadah, belajar satu sama lain, membuat jaringan, dan membuat teman baru.
“Hasilnya baik. Kami menyediakan platform bagi ekumenis muda Asia untuk bertemu, membicarakan tentang buah pikiran dan gagasan, dan merenungkannya,” kata Dr Mathews George Chunakara, Sekretaris Jenderal Konferensi Kristen Asia (CCA), penyelenggara utama, seperti dilaporkan Claus Grue dari Dewan Gereja Dunia (WCC) dalam oikoumene.org, tanggal 20 April lalu.
“Mudah-mudahan, musyawarah AEYA menjadi pembuka mata bagi mereka untuk memahami isu-isu yang muncul dengan lebih baik dan mencerminkan tentang mereka dari perspektif Kristen. Kami ingin anak-anak muda memahami keragaman Asia dan berpikir dalam kerangka kesatuan dalam keragaman tersebut. Kami mencoba memperlengkapi mereka untuk berpikir dengan cara yang lebih tajam, di luar orbit tradisional mereka,” ia menambahkan.
Tren “Digital Nomadization”
Melibatkan lebih banyak orang muda dalam gerakan ekumenis adalah prioritas untuk CCA. Rencana strategisnya saat ini mencakup beberapa program yang ditujukan untuk pembentukan ekumenis, pelatihan dan pengembangan kepemimpinan kaum muda. Peluang yang diberikan kepada kaum muda untuk magang selama setahun di markas CCA di Chiang Mai, Thailand, adalah bagian dari pengembangan kepemimpinan kaum muda.
“Anak-anak kita adalah masa depan, dan kita harus menemukan cara-cara kreatif dan inovatif untuk melibatkan mereka. Ini bukan tugas yang mudah, karena pada umumnya pemuda masa kini kurang terlibat dalam gerakan ekumenis daripada generasi muda 20 tahun lalu. Hari ini, gerakan pemuda menjadi semakin lemah, dan itu sebabnya kami harus memperbarui upaya kami dan menarik lebih banyak orang muda,” Chunakara menjelaskan.
Semangatnya untuk melibatkan pemuda mendapat suntikan baru di AEYA. Ia mengaku terkesan atas pengetahuan luas, visi yang lebih luas, dan semangat generasi muda saat ini.
“Mereka berpengalaman, sangat berpengetahuan, percaya diri, dan independen. Tidak ada yang dapat mempengaruhi mereka kecuali keyakinan mereka sendiri. Kami tidak dapat meremehkan orang-orang muda Asia ini dan kami harus memeliharanya dengan baik, mendorong semangat positif mereka dan memberikan lebih banyak kesempatan,” kata Chunakara.
Dia mengamati tren yang dia sebut “digital nomadization”, yang memungkinkan orang-orang muda melaksanakan tugas mereka di berbagai lokasi di dunia melalui internet. Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu negara ke negara lain, bukannya secara fisik hadir di satu tempat kerja tertentu di lingkungan kerja yang tetap.
Chunakara melihatnya sebagai tantangan dan peluang yang dihadapi kaum muda saat ini, juga gereja-gereja di seluruh dunia. Pertanyaan yang dia ajukan, apakah gaya hidup ini membawa orang-orang muda lebih dekat ke - atau lebih jauh dari - gereja? Dan bagaimana gereja dapat mengatasi situasi semacam itu?
“Kita seharusnya tidak mengizinkan orang-orang muda memotong akar mereka dari gereja. Sudah waktunya untuk memikirkan strategi yang tepat untuk melibatkan orang-orang ini,” kata Chunakara.
Memotivasi Meluncurkan Insiatif Lokal
AEYA dimaksudkan untuk menjadi batu loncatan ke arah itu, untuk melibatkan kaum muda melalui jaringan ekumenis, bersama dengan inisiatif program lain di tingkat nasional dan regional.
Dalam beberapa tahun terakhir prioritas juga telah diberikan oleh CCA ke negara-negara Asia, di mana gerakan ekumenis melemah dan pada sisi lain gereja-gereja baru bermunculan. Negara-negara yang tadinya tertutup, pernah terisolasi, seperti Kamboja dan Laos, Nepal, Bhutan, dan Timor-Leste, contohnya, jumlah kegiatan ekumenis meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Setelah perang sipil dan isolasi, negara-negara ini tidak membuka diri untuk gereja atau misionaris, tetapi hari ini mereka telah menjadi medan perang misionaris dengan gereja-gereja lokal yang terbagi dan bingung. Gereja-gereja dan para anggota perlu perhatian yang khusus dengan iringan yang konsisten untuk membangun kepemimpinan dan formasi ekumenis,” Chunakara menjelaskan.
Tujuan penting dari pertemuan-pertemuan CCA yang lebih besar, seperti Konferensi Misi Asia (AMC) yang diadakan di Yangon, Myanmar, pada bulan Oktober tahun lalu, dan kemudian AEYA, adalah untuk mengilhami gereja-gereja anggota dan badan-badan ekumenis di seluruh Asia untuk terlibat dalam program CCA dan untuk memotivasi mereka meluncurkan inisiatif lokal sendiri.
Hal itu mulai terwujud. Di sub-wilayah Mekong, sedang direncanakan sebuah konferensi pemuda yang melibatkan enam negara. Di Pakistan, Sri Lanka, dan program pemuda nasional Bangladesh juga sedang diorganisir.
Dalam waktu sepuluh tahun, Chunakara membayangkan sebuah gerakan ekumenis yang lebih hidup di Asia dengan partisipasi generasi baru dari seluruh lapisan masyarakat, di gereja dan masyarakat. “Jika konsisten dalam upaya kita, itu akan membantu kita mengatasi kelesuan dalam mencapai tujuan ekumenisme dalam arti sebenarnya: bekerja untuk dan dengan semua Umat Allah di Asia,” kata Chunakara.
Editor : Sotyati
Satu Kritis, Sembilan Meninggal, 1.403 Mengungsi Akibat Erup...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 1.403 korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, N...