Generasi Z Melek Politik?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Generasi Z yakni mereka yang lahir tahun antara rentang tahun 1995-2010 atau saat ini tergolong remaja dan mulai memasuki masa dewasa muda memandang dunia politik sebagai sesuatu yang menarik.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan, salah satu tahap perkembangan yang mereka alami yakni attention-seeking atau keinginan diterima suatu kelompok atau ingin menjadi bagian dari suatu kelompok. Kelompok usia ini bisa jadi tertarik untuk unjuk pemikiran atau pendapat dalam ranah politik.
"Ini merupakan sesuatu yang positif sebetulnya karena menunjukkan juga kepedulian mereka terhadap kehidupan sekitar. Masalah enggan terbuka atau ungkap di media sosial, kebanyakan akan ungkapkan di media sosial atau bahkan ikut berdemo untuk menunjukkan sikap atau pendapat mereka," tutur Vera kepada Antara, dilansir Kamis (21/1).
Vera menilai, generasi Z cenderung akan mengikuti apa atau siapa yang mereka senangi. Tak sebatas di media sosial, mereka juga bisa melakukan tindakan nyata sebagai wujud sikap mereka.
Di Amerika Serikat misalnya, mayoritas gen Z mendukung gerakan sosial seperti Black Lives Matter. Gerakan yang juga mendapatkan perhatian sederet idola K-pop seperti Jae DAY6, Mark GOT7, MOMOLAND, Eunkwang BTOB, Johnny NCT hingga Bangtan Sonyeondan (BTS) ini bahkan direspons para penggemar mereka di berbagai belahan dunia.
Laman South China Morning Post mewartakan adanya gelombang dukungan dari para penggemar K-pop (yang di dalamnya termasuk gen Z) dalam skala besar. Mereka ikut mendukung gerakan tersebut seperti halnya idola mereka mulai dari mengunggah video berdurasi pendek hingga membuat tagar yang menghancurkan cuitan bernada rasisme.
Dari sisi keunggulan, generasi ini mumpuni dalam teknologi digital terutama di aspek informasi karena mereka sudah sangat mudah mengakses dan menerima informasi apapun yang bisa men-trigger emosi mereka.
"Generasi Z true digital native karena mereka lahir di era digital, berbeda dengan generasi sebelumnya, lebih luas networking atau pergaulannya karena berkat teknologi digital mereka bisa terhubung ke siapa saja," tutur Vera.
Mereka juga kreatif, terutama ide-ide baru terkait digital, termasuk profesi-profesi baru seperti youtuber, selebgrammer, tertarik pada isu-isu sosial global seperti lingkungan seperti yang dilakukan aktivis berusia 18 tahun asal Swedia, Greta Thunberg.
Dari sisi pengambilan keputusan, gen Z yang berada pada rentang usia remaja-dewasa muda awal masih sangat dipengaruhi emosi dalam mengambil keputusan atau berperilaku. Menurut Vera, hal ini berhubungan dengan bagaimana perkembangan otak di rentang usia ini.
"Ada bagian prefrontal cortex yang belum berfungsi optimal (optimal di usia 20-25 tahun) sehingga keputusan didominasi oleh emosi," kata Vera.
Salah satu dampaknya, mereka mudah terpancing melakukan sesuatu tanpa memikirkan panjang konsekuensinya atau benar menelaah sebelum bertindak. Dengan kondisi ini, menjadi penting bagi mereka untuk memiliki teman diskusi yang tepat sebelum memutuskan sesuatu.
Geliat politik gen Z
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago melihat sudah adanya geliat politik di antara generasi Z.
"Saya melihat sudah cukup relatif lebih baik ada mulai geliat generasi Z terhadap politik, yang sebelumnya sangat anti politik, alergi dengan diksi dan frasa politik," tutur dia yang juga menilai sudah mulai ada pergeseran perspektif politik generasi Z.
Hal ini berbeda dari generasi Y atau yang lahir setelah generasi X dengan kisaran tahun 1981 hingga tahun 2000. Penelitian yang dilakukan Christiany Juditha dari Puslitbang Aptikasi Informatika dan Informasi Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan Josep J. Darmawan dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tahun 2018 menunjukkan, generasi ini menganggap topik politik sebagai topik yang biasa saja.
Meski demikian, responden dalam penelitian mengakui tetap mengikuti berita-berita politik yang banyak diakses dari media online dan televisi.
Dari sisi keterbukaan, Pangi berpendapat sebagian orang di generasi Z cenderung terbuka mengasosiasikan diri langsung bahkan dengan politik praktis. Walau sebagian juga memilih menutupinya, alergi dengan politik atau bahkan tak ingin terlibat dalam politik praktis.
Kalangan selebritas misalnya. Beberapa manager artis generasi Z Indonesia yang dihubungi beberapa waktu lalu tegas menyatakan artis mereka tak mau diwawancara terkait politik, apapun pertanyaannya. Pihak manager mengatakan, artis asuhannya tidak paham politik sehingga enggan melayani pertanyaan seputar politik.
Berbicara keterbukaan masalah politik, Taylor Swift memang bukanlah generasi Z, namun dia menjadi salah satu selebritas millenial yang akhirnya terbuka mengenai pilihan politiknya.
Dia kepada TIME pernah mengatakan sekitar dua tahun terakhir mulai melek politik. Menurut dia, beberapa kejadian penting dalam hidupnya yang membuat dia memutuskan memasuki ranah politik. Keterlibatan Swift dalam politik, salah satunya untuk menyuarakan kesetaraan gender dan menolak kekerasan terhadap perempuan.
Beberapa waktu lalu, Swift diketahui terlibat menjadi duta kampanye kandidat Gubernur dari Partai Demokrat, Phil Bredesden di daerah Tennessee. Dia juga mendukung politikus demokrat lain seperti Jim Cooper. Tahun lalu, Swift menyatakan dukungannya pada Joe Biden.
Menurut Pangi, generasi Z termasuk selebritas perlu segera belajar secara mendalam dan terlibat dalam politik praktis. Mereka sebaiknya mau belajar cepat dan penyesuian secara cepat dalam seluk beluk dunia politik praktis.
"Generasi milenial penting melek politik, mau belajar cepat terkait politik praktis di lapangan, pendidikan politik yang harus terus menerus dilakukan secara konsisten," demikian kata dia.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...