Gereja Belanda Kebaktian Maraton Cegah Pengungsi Armenia Ditangkap
DEN HAAG, SATUHARAPAN.COM – Sebuah gereja Protestan di Belanda sejak sebulan terakhir terus melakukan kebaktian selama 24 jam sehari tanpa henti, guna melindungi sebuah keluarga asal Armenia untuk tidak dideportasi dari negeri tersebut.
Keluarga tersebut, keluarga Tamrazyan, yang terdiri atas lima orang, sudah tinggal di Belanda selama hampir sembilan tahun, namun terancam dideportasi setelah pengadilan menolak banding mereka agar bisa tinggal di sana.
Mereka sekarang mendapat perlindungan di dalam gereja Protestan di Den Haag. Menurut UU Belanda, polisi dilarang memasuki tempat ibadah bila sedang ada upacara keagamaan.
Dengan cara itu, keluarga tersebut tidak bisa ditahan sepanjang kebaktian terus dilakukan.
“Kami melakukan apa yang bisa kami lakukan, dengan terus berdoa, bernyanyi, mendengarkan kotbah,” kata Pendeta Axel Wicke, pendeta di Gereja Bethel tersebut, lewat Twitter.
“Keluarga Tamrazyan betul-betul hidup dalam rumah perlindungan yang dibuat dari doa dan pengharapan.”
Menurut keterangan Pendeta Wicke kepada ABC, Sasun Tamrazyan melarikan diri dari Armenia bersama istrinya, Anousche, dan ketiga anaknya, setelah mendapat ancaman mati karena kegiatan politiknya.
“Kami tahu dari keluarga itu, bahwa Sasun sudah beberapa kali diculik. Dia aktif secara politik di sana dan beberapa orang di Armenia ingin agar dia mati.”
Mereka sebelumnya sudah mendapat suaka dari pengadilan, namun keputusan tersebut dibatalkan setelah pemerintah mengajukan banding.
Usaha banding terakhir yang dilakukan adalah melakukan dengan mengajukan kasus “perlindungan untuk anak-anak” - hak bagi anak-anak dan keluarga mereka untuk tinggal di Belanda bila sudah menetap lebih dari lima tahun.
Namun banding tersebut pun ditolak tahun ini.
“Gereja Protestan Den Haag menghormati keputusan pengadilan, namun kami menghadapi dilema antara menghormati pemerintah dan melindungi hak anak-anak,” demikian pernyataan gereja.
Dimulai Sejak 26 Oktober
Tindakan gereja ini terjadi di tengah meningkatnya gerakan sayap kanan di Belanda, dan juga kebijakan yang lebih ketat terhadap pengungsi, di saat Eropa kewalahan menangani membludaknya pengungsi yang mencari suaka dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut data pemerintah, dalam masa tiga tahun antara bulan Mei 2013 sampai April 2016, hanya 100 dari 1.360 kasus perlindungan untuk anak-anak yang dikabulkan.
Menurut Pendeta Wicke, meski keluarga Tamarazyans adalah penganut Kristen yang taat, namun agama bukan pertimbangan gereja melakukan hal tersebut.
“Kami juga akan melakukan hal tersebut bila agama mereka Islam,” katanya.
Gereja sudah mendapat banyak dukungan atas kebaktian maraton tersebut, yang sudah dimulai sejak 26 Oktober dan tampaknya tidak akan berakhir dalam waktu dekat.
“Sejauh ini kami mendapat banyak dukungan dan tidak mengalami masalah untuk mengisi kebaktian,” tulis Pendeta Wicke.
“Juga masih ada pembicaraan di belakang layar dengan para politisi, hal yang memberikan kami harapan.”
ABC telah meminta komentar dari Pemerintah Belanda namun belum mendapatkan jawaban apa pun. (abc.net.au)
Editor : Sotyati
Harvey Moeis Divonis Penjara 6,5 Tahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (R...