Loading...
OPINI
Penulis: Posman Sibuea 00:00 WIB | Kamis, 13 November 2014

Gereja dan Pembangunan Kedaulatan Pangan

Kita menghuni negeri yang makmur, namun pemerintahnya tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya

SATUHARAPAN.COM - Setelah berkenan dengan tafsir mimpi yang diberikan Yusuf,  Firaun menunjuk Yusuf sebagai orang kedua di negeri adidaya itu dengan tugas khusus membangun kedaulatan pangan. Yusuf segera blusukan ke seluruh tanah Mesir untuk membangun sektor pertanian guna  meningkatkan produksi pangan selama tujuh tahun kelimpahan itu (Kej. 41: 1-36).

Krisis pangan yang kini tengah menjalar ke seluruh daerah di Tanah Air dan dampaknya kian massif dirasakan warga, Gereja tidak boleh berpangku tangan. Keterlibatan Gereja untuk penguatan kedaulatan pangan dan menyelamatakan pangan lokal menjadi sebuah keharusan dan mendorong semangat solidaritas untuk membawa masyarakat keluar dari krisis pangan sebagaimana yang diteladankan oleh Yesus (Mat. 14: 15-20).

Indonesia butuh  sosok pemimpin  yang cerdas dan bijaksana untuk mengantisipasi krisis pangan. Masa-masa kemakmuran hampir berakhir. Ketika negara-negara berkembang dan miskin berkonsentrasi menangani kemiskinan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang diluncurkan tahun 2000, yakni menurunkan angka kelaparan menjadi separuhnya pada tahun 2015, masalah kemiskinan dan malnutrisi kini mulai menyergap.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2013, prevalensi anak yang mengalami gizi kurang sekitar 19 persen, bertambah 1 persen dari angka 17,9 persen pada 2010. Sementara jumlah anak bertubuh pendek (stunting) mencapai 37,2 persen. Jika dibandingkan dengan data Riskesdas 2010, prevalensi stunting meningkat 2 persen dari 35,6 persen.

Akar masalahnya terletak pada kesulitan ekonomi yang membelit masyarakat. Minimnya lapangan kerja dan bertambahnya kantong-kantong kemiskinan baru membuat rakyat tak mampu membeli makanan bergizi. Malapetaka gizi buruk dan busung lapar mengintai hidup dan kehidupan mereka.  Yang pada gilirannya menghasilkan bobot masalah lebih besar, yakni sebagian anak-anak akan menjadi sumber generasi yang hilang. Indonesia pun akan semakin tertinggal dalam pembangunan sumber daya manusia bermutu. Bangsa ini akan mudah didikte dan diperalat bangsa asing.

 

Tergantung impor

Tanpa kita sadari, negeri agraris yang dipuja subur dan makmur ini ternyata kebutuhan pangan rakyatnya sangat tergantung  impor. Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan produk asing. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghempangnya. Indonesia menjadi negara yang membangun ketahanan pangan berbasis impor.

Kita menghuni negeri yang makmur, namun pemerintahnya tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya. Krisis pangan datang silih berganti. Mulai dari krisis beras, krisis kedelai, daging sapi, gula, jagung, bawah putih,  bawang merah dan lain-lain.

Pertumbuhan impor pangan yang relatif tinggi selama 10 tahun terakhir menggambarkan  kinerja sektor pertanian yang makin buruk. Hal ini mendorong indeks ketahanan pangan Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga. Di antara 105 negara yang dinilai, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8 yang jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke-33 (dengan skor 63,9), China 38 (62,5), Thailand 45 (57,9), Vietnam 55 (50,4), dan bahkan Filipina yang berada di urutan ke-63 (47,1) (Global Food Security Index, 2012).

Penetrasi asing melalui perusahaan multinasional di bidang pangan semakin kuat. Perusahaan asing di Indonesia tidak saja menguasai perdagangan, tetapi meluas dari hulu ke hilir, seperti sarana produksi pertanian, meliputi benih dan obat-obatan hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan hingga ritel. Liberalisasi di sektor pangan  memberi peluang kepada asing untuk meningkatkan pasarnya di Indonesia.

Industri input pertanian saat ini dipasok hanya oleh sepuluh perusahaan multinasional (multinational corporation/MNC) yang menguasai penjualan pangan senilai Rp 3.477 triliun. Indonesia semakin kuat dalam cengkeraman jaringan MNC, terutama perusahaan besar yang menguasai perdagangan pangan dunia, pakan ternak dan pangan olahan lainnya. Dibalik krisis pangan global 2011, sejumlah pemain MNC meraup untung besar dari perdagangan pangan. Cargill, Bunge, dan ADM (Archer Daniels Midland Company) yang menguasai 90 persen perdagangan gandum dunia membukukan kenaikan laba rata-rata 70 persen. Supermarket seperti Tesco, Carrefour, dan Wal-Mart tak ketinggalan. Pada 2012, pendapatan Wal-Mart setara dengan akumulasi PDB negara berpenghasilan rendah, yakni 420 miliar dollar AS. Sementara Monsanto meraup dividen enam kali atau meningkat 250 persen sejak 2005. Ketika jutaan penduduk bumi merintih kelaparan, segelintir korporasi raksasa mendapat durian runtuh.

 

Peranan Gereja

Makin tingginya ketergantungan Indonesia pada pangan impor dan belajar dari peristiwa krisis pangan yang menjatuhkan Soeharto dari singgasana kekuasaan, Gereja patut menjadi mitra pemerintah untuk membangkitan kembali nasionalisme pangan di seluruh negeri.

Tendangan bola pertama sudah di mulai dengan mereplikasi kearifan lokal manggodong di Medan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Universitas Katolik Santo Thomas SU sebagai wujud percepatan nasionalisme pangan. Di daerah lain pasti ada kearifan lokal untuk mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal guna memantapkan ketahanan pangan nasional yang mandiri dan berdaulat.

Menggali kembali pesan  Alkitab yang mengajarkan pembangunan kedaulatan pangan mejadi penting dipahami ketika daya beli masayarakat semakin tergerus oleh makin mahalnya harga pangan. Apa yang dilakukan oleh Yusuf (Kej. 41: 36 dan  41 : 54 – 56) dalam dunia modern saat ini dinamakan manajemen agrobisnis yaitu suatu pengelolaan sistem pertanian terpadu mulai dari hulu ke hilir – saat penanaman, pemanenan, pengolahan, penyimpanan,  distribusi dan  pemasaran – yang dilakukan secara terkendali untuk menjamin tingkat kesejahteraan petani.

Pembangunan kedaulatan pangan model Yusuf bertujuan untuk membangkitkan  pembangunan ekonomi kreatif berbasis kerakyatan  yang akan menetaskan kedaulatan rakyat untuk kemandirian bangsa dan memerdekakan  rakyat dari penjajajahan kapitalisme pangan. Liberalisasi pertanian semakin menghancurkan usaha tani lokal milik ratusan juta petani sehingga mereka acap terancam kelaparan dan mendorong petani dari desa berimigrasi ke kota karena di desa hanya ada kemiskinan dan busung lapar.

Krisis pangan global bisa menjadi momentum kebangkitan Gereja untuk mengubah posisi Indonesia dari salah satu bangsa pengimpor pangan terbesar di dunia menjadi  negeri yang berdaulat atas pangan. Gereja harus mampu menyuarakan suara kenabiannya untuk mengakhiri kebijakan pangan pemerintah yang lebih memakmurkan petani bangsa asing. Gereja emiliki tugas-tugas penggembalaannya, selain tugas pelayanan iman juga memiliki tugas tambahan penting  dalam membangun kehidupan jemaat yang sejahtera, baik secara batiniah maupun secara lahiriah.

Gembala adalah simbol seorang pemimpin yang siap mengantarkan domba-domba (jemaat) kepada sumber-sumber kehidupan dan kemakmuran (Mzm. 23 : 1 – 3). Yaitu rumput yang hijau sebagai personifikasi dari tanaman pangan, buah dan sayuran, peternakan, perikanan, perkebunan;  dan ke air yang tenang sebagai personifikasi dari pendidikan dan kesehatan (jasmani dan rohani), dan menuntun di jalan yang benar (hubungan sosial, budaya, komunikasi dan transportasi).

Oleh karena itu, kehadiran Gereja harus menjadi berkat bagi masyarakat sekelilingnya. Gembalanya tidak boleh terjebak dalam boncengan  gratis penguasa yang  tidak mampu membawa jemaatnya berjalan dalam terang. Perjalanan Gereja  di tengah arus perubahan zaman yang segalanya ditakar dalam bejana materialisme tidak tergiur dengan aneka tawaran dan sumbangan dari pemerintah yang memperlihatkan kolaborasi status quo kekuasaan yang membuat suara kenabian menjadi kabur bahkan luntur.

 

Penulis adalah Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser).

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home