Gereja dan Pertobatan pada Kerusakan Lingkungan
SATUHARAPAN.COM – Pengalaman dalam sebuah pertemuan di Gereja Protestan Maluku (GPM) bulan lalu membuat semangat dan sekaligus gelisah. Gereja sebagai ujung tombak suara kenabian memang seharusnya melakukan pembelaan terhadap ancaman kehidupan, baik bagi umatnya maupun lingkungannya.
Melihat film dokumenter “Perjuangan Masyarakat Adat Aru” kita bisa mengetahui bahwa peranan Gereja (dalam hal ini GPM) bersama masyarakat adat Aru membuat gerakan penolakan PT. Menara Grup yang ditengarai akan merusak dan merampas hak masyarakat adat ini berhasil. Tentu tidak mudah, sebuah institusi Gereja melakukan pembelaan secara sistematis dan termaktub dalam dokumen resmi sebuah Gereja. Kita semua mahfum bahwa Gereja selama ini bersikap netral dalam konflik antara pengusaha dan masyarakat dalam sengketa tanah serta konflik lain yang akhirnya berujung pada kerusakan lingkungan.
Secara jelas dan gamblang GPM menolak keberadaan PT. Menara Grup yang hadir di Pulau Aru. Tidak ada tuntutan lain tertulis dalam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Sidang Sinode GPM. Lanjutan dari penolakan itu adalah dirumuskannya strategi advokasi dari lini paling rendah dalam struktur GPM sampai tingkat sinodal. Membaca dokumen ini membuat terharu dan sekaligus bangga, serta ada harapan besar hal ini mampu diduplikasi oleh gereja yang lain.
Jauh sebelum GPM, HKBP juga pernah melakukan perlawanan dengan gigih atas PT. Indorayon yang saat ini berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, atau sering disingkat PT. TPL. Di bawah kepemimpinan Ephorus SAE Nababan, saat itu HKBP memberikan dukungan kepada rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap Indorayon. Perlawanan tersebut kandas, saat negara berselingkuh dengan modal (Indorayon) berhasil memecah belah HKBP melalui militer. Gerakan HKBP sebenarnya tidak hanya sendiri juga, bersama dengan elemen masyarakat sipil (ornop), masyarakat adat telah berjuang sampai titik darah penghabisan. Disayangkan, suara HKBP paska SAE Nababan tidak menjabat sebagai Ephorus mulai meredup dan tidak terdengar sampai hari ini.
Perlawanan lain yang dilakukan oleh gereja adalah saat GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) dalam melakukan perlawanan terhadap Amdal Kijang untuk melawan perusahaan kelapa. Gereja Kristen Sumba juga memiliki contoh perlawanan terhadap hadirnya tambang emas di Sumba Tengah. Penolakan terhadap tambang emas tersebut bersama dengan jemaat serta masyarakat Sumba membuahkan hasil, sehingga ijin tambang tersebut dicabut.
Kiamat Ekologis
Mungkin ada yang menganggap berlebihan dengan istilah kiamat ekologis, bahasa anak muda jaman sekarang “lebay”. Tetapi itulah yang terjadi. Di samping teori oleh Al Gore soal pemanasan global, bencana ekologis juga banyak terjadi di Indonesia. Bencana terjadi di tempat yang selama ini tidak pernah terjadi bencana. Bencana datang dengan sangat cepat. Masih lekat ingatan kita akan bencana banjir bandang di kota Manado. Kota yang selama ini hampir tidak pernah mengalami banjir.
“Segala-galanya adalah kampung halaman, itu segala-galanya. Dan harganya darah juga, karena darah saya tumpah di sana, sehingga tidak bisa dipisahkah hidup dari tanah itu sendiri” |
R. P. Borrong, mengatakan: Planet bumi ini sedang menderita sakit, kurus dan terancam kematian! Itulah masalah besar dan bersifat global yang dihadapi umat manusia dewasa ini dan di masa depan. Itulah pula yang disebut krisis ekologis. Masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bumi dan manusia ini sudah merupakan masalah yang berat dan serius. Ia mengancam kehidupan dan keberlangsungan hidup alam semesta atau bumi dengan segala isinya, dan juga manusia. (R.P. Borong dalam buku Etika Bumi Baru, 1999).
Jadi, krisis ekologi ini jika dibiarkan bukan tidak mungkin bahwa kiamat ekologis ini telah dekat dengan mata kita. Perjuangan rakyat melawan perampasan tanah yang berujung pada kriminalisasi sudah jamak terjadi. Rakyat yang tanpa senjata itu pun harus berhadapan dengan militer yang menjadi penjaga keamanan pemodal.
Gereja masa Kini
Kejayaan gereja-gereja dalam melakukan perlawanan terhadap perusak lingkungan ini harus tetap berlanjut. Melalui PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), gereja anggota telah diberikan panduan kebijakan dalam menyikapi konflik agrarian dan degradasi lingkungan. Langkah besar ini patut diapresiasi dan selayaknya terus dilakukan monitoring terhadap gereja-gereja anggota dalam menyikapi kebijakan yang telah dibuat.
Gereja saat ini harus mulai merobohkan tembok tinggi yang selama ini seolah menjadi penghalang dalam menabuh genderang perang bagi para perusak lingkungan. Sudah dapat dipastikan, bahwa diantara sekian banyak komprador perusak lingkungan tersebut juga anggota gereja. Saatnya gereja melakukan kembali pelayanan kepada rakyat yang termiskin dan terpinggirkan.
Dalam kondisi lingkungan yang sudah bisa dibilang sekarat ini, hendaknya pimpinan gereja-gereja tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai imam, tetapi juga sebagai Nabi. Gereja harus berani mengalihkan penggembalaan pada rakyat yang membangkang, karena sadar pada haknya sebagai warga negara dan masyarakat adat, kepada penggembalaan terhadap para pemangku kekuasaan politik dan ekonomi. Hanya dengan jalan itulah gereja-gereja dapat menghadirkan Syalom di bumi Indonesia.
Kewajiban ekologis dilakukan sebagai tugas yang diberikan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Ini adalah tugas yang dilakukan gereja sebagai mitra Allah. Di sini gereja melakukan tugas karena kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah. Ini diberikan karena Tuhan mengakui dan menghargai kemampuan manusia untuk mengelola dan memelihara dunia. Pengakuan dan kepercayaan Tuhan ini tentunya adalah hal yang membanggakan gereja; bahwa gereja dihargai Tuhan dan dapat berbuat sesuatu yang berguna bagi alam ciptaan Tuhan. Mazmur 8:4-9 memperlihatkan pengakuan dan perlakuan Allah yang membanggakan manusia; bahwa Allah mengindahkannya dan bahkan membuatnya “hampir sama” dengan Allah. (Pdt. Stanley Rambitan dalam papernya Gereja dan Lingkungan Hidup, 2006)
Menjaga keutuhan ciptaan tidak hanya sekedar membuat biopori di lingkungan gedung gereja, perayaan lingkungan hidup dalam liturgi, gerakan menanam pohon, memisahkan sampah dan kegiatan serupa lainnya. Hal-hal tersebut tetap harus dilanjutkan warga gereja dalam rangka kesadaran berbela rasa pada lingkungan dan kesadaran theologis sebagai manusia yang menjadi bagian dari keutuhan ciptaan. Tetapi, hal besar dan sangat diharapkan adalah Gereja berada di garda paling depan saat ada perusakan lingkungan di daerah paling dekat dengannya. Teladan GPM yang baru-baru ini, menghadirkan kerinduan pada HKBP, GMIM, GKS dan seluruh gereja di Indonesia untuk bisa melakukan hal yang sama. Pembelaan akan lingkungan dalam rangka menyuarakan suara kenabian.
Teringat pada seorang aktivis perempuan adat Aru, Donlinfe Galagoi dalam film dokumenter yang diproduksi oleh Forest Watch Indonesia dengan kalimatnya “Segala-galanya adalah kampung halaman, itu segala-galanya. Dan harganya darah juga, karena darah saya tumpah di sana, sehingga tidak bisa dipisahkah hidup dari tanah itu sendiri”.
Penulis adalah Direktur Program JKLPK Indonesia – Jakarta
60.000 Warga Rohingya Lari ke Bangladesh karena Konflik Myan...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 60.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh dalam dua b...