Gereja-gereja Sedunia Prihatin Situasi Burundi
SATUHARAPAN.COM – Dewan Gereja Dunia (The World Council of Churches/WCC) dan Konferensi Seluruh Gereja Afrika (All Africa Conference of Churches/AACC) bersama-sama mengungkapkan keprihatinan bagi masyarakat Burundi dalam situasi ketegangan ekstrem dan meningkatnya pelanggaran HAM.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pada Jumat (18/12), WCC dan AACC mengamati bahwa krisis politik di Burundi "telah ditandai dengan kekerasan brutal, serangan yang ditargetkan, pembunuhan di luar hukum, penindasan yang parah dan hasutan yang meningkatkan ketegangan komunal".
"Kami menyerukan kepada para pemimpin dalam pemerintah dan politik Burundi untuk mengubah jalan kekerasan ke jalan damai", pernyataan itu berbunyi. Gereja-gereja juga menyerukan untuk "kepemimpinan yang bertanggung jawab yang tidak menoleransi pembunuhan dan pelanggaran serius lainnya yang sekarang jadi lazim di negara ini".
"Di musim Adven ini, saat kita menunggu kelahiran Kristus Anak, Raja Damai, kami berdoa agar semua orang yang sekarang mendukung kekerasan dan perpecahan di Burundi akan belajar dan mengejar hal-hal yang membuat perdamaian di tanah terluka ini," pernyataan itu menyimpulkan.
Akibat Presiden Ngotot Menjabat Periode Ketiga
Dewan Keamanan (DK) PBB pada Sabtu (19/12) kembali menyampaikan keprihatinannya yang mendalam mengenai peningkatan kerusuhan di Burundi, dan bertambahnya kasus pelecehan serta pelanggaran hak asasi manusia.
DK juga prihatin mengenai berlanjutnya kebuntuan politik dan konsekuensi kemanusiaan yang serius, kata satu pernyataan yang dikeluarkan oleh Dewan tersebut kepada pers.
Dewan dengan 15 anggota itu mengecam semua tindak pelanggaran. Mereka juga prihatin dengan pernyataan yang meningkatkan ketegangan yang dikeluarkan oleh para pemimpin politik Burundi.
DK PBB juga dengan keras mengecam serangan yang dilakukan terhadap barak militer di Bujumbura dan Pinggiran Bujumbura, serta dugaan penghukuman mati tanpa proses pengadilan yang dilakukan setelah serangan tersebut.
Dewan Keamanan menggaris-bawahi pentingnya untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang melakukan perbuatan semacam itu.
Gelombang kerusuhan terus berkecamuk setelah terpilihnya kembali Presiden Pierre Nkurunziza, yang pengumumannya pada April untuk berusaha meraih masa jabatan ketiga menyulut protes.
Kelompok oposisi dan masyarakat sipil menentang pencalonan diri Nkurunziza, dengan alasan Kesepakatan Arusha menetapkan bahwa seorang presiden hanya bisa memangku jabatan dua kali.
Menurut laporan media, Pemerintah Burundi telah menolak keputusan Uni Afrika bagi penggelaran pasukan pemelihara perdamaian dengan 5.000 personel guna mengekang kerusuhan yang terjadi di negara yang dilanda kemelut tersebut. Pemerintah Burundi menyatakan akan mencegah tentara asing memasuki perbatasannya. (oikoumene.org/Xin Hua)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...