Gereja Harus Kompeten di Bidang Kesehatan
JENEWA, SATUHARAPAN.COM - Gereja perlu terinspirasi dalam upaya membangun kesehatan dan menyembuhkan yang sakit. Mereka yang bisa menyehatkan masyarakat dapat menerjemahkan khotbah mereka menjadi tindakan nyata dalam kehidupan.
Pernyataan ini disampaikan Karen Sichinga, anggota regional Afrika Selatan pada program yang diselenggarakan World Council Of Churches (WCC), Ecumenical HIV and AIDS Initiative in Africa (EHAIA). Dia seorang dokter spesialis kesehatan masyarakat dari Zambia. Sichinga lulus dari University of Alberta, Kanada, dan University of Leeds, Inggris.
Dia baru terpilih sebagai Ketua African Christian Health Associations Platform. EHAIA hanya salah satu dari beberapa lembaga di mana Sichinga melibatkan diri dalam program ekumenis yang ditujukan untuk memobilisasi gereja-gereja terlibat dalam membangun dan mengembangkan kesehatan masyarakat.
"Kita tidak mungkin memisahkan kesehatan fisik dari kesehatan rohani," kata Sichinga. "Kesehatan rohani merupakan bagian integral dari anatomi seseorang. Oleh karena itu, penting bagi gereja membantu dan mendukung mereka yang dalam kondisi hampir meninggal karena penyakit yang sudah parah," tambahnya.
Bekerja sebagai Direktur Eksekutif Asosiasi Gereja untuk Kesehatan Zambia (Chaz), Sichinga melihat pentingnya gereja bergandengan tangan dengan orang-orang di sektor kesehatan. Dia menganggap Chaz sebagai contoh organisasi yang mewadahi berbagai pelayanan kesehatan kuratif dan preventif yang disampaikan melalui jaringan Chaz, rumah sakit dan gereja, klinik kesehatan pedesaan dan program berbasis masyarakat.
Chaz dibentuk pada tahun 1970 dan menyatukan kedua organisasi Katolik dan Protestan. Ini adalah organisasi terbesar kedua yang menyediakan layanan kesehatan di Zambia, khususnya di daerah pedesaan. Chaz mewakili enam belas gereja lokal (Katolik dan Protestan), serta 146 lembaga afiliasi.
"Melalui Chaz kami menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat yang holistik, sehingga orang dapat hidup sehat dan produktif untuk kemuliaan Allah," kata Sichinga.
"Dalam 21 tahun kerja terkait kesehatan masyarakat, saya telah menemukan bahwa pasien ingin seseorang untuk mendengarkan mereka. Jadi, tidak selalu tentang pengobatan dan doa. Mereka membutuhkan perhatian pada kebutuhan psikologis dan spiritual," katanya. "Dalam situasi seperti ini, selain memberikan dukungan perawatan medis, gereja dapat menjadi tempat untuk pertemuan yang penuh kasih, dan akhirnya menjadi tempat penyembuhan."
Dalam kaitan dengan pekerjaan di EHAIA, Sichinga menganggap bahwa gereja harus kompeten dalam menangani masalah HIV dan AIDS. "Dengan inisiatif EHAIA, kami mencoba menyampaikan informasi pada gereja, dan mengajak mereka berada di garis depan berhadapan dengan HIV, serta dan bersiap-siap untuk menerapkan strategi baru yang efektif untuk mengatasi pandemi," kata Sichinga.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Zambia dihadapkan dengan pandemiHIV dan AIDS yang tingkat prevalensi nasionalnya mencapai 14,3 persen dan terjadi pada penduduk usia 15 hingga 49 tahun. Menurut Sichinga, HIV tidak hanya masalah medis. Ini merupakan masalah sosial, serta masalah rohani. Dengan stigma yang masih melekat pada orang yang terinfeksi HIV, maka dibutuhkan pendidikan bagi orang-orang dan organisasi yang bergerak melayani penderita HIV dan AIDS.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...