Gereja Ikut Bangun Masa Depan Gaza Pascaperang 2014
SATUHARAPAN.COM – Gereja-gereja ikut membangun Gaza, Palestina yang porak-poranda akibat perang dengan Israel pada 2014 lalu. Claus Grue, konsultan komunikasi di Dewan Gereja Dunia, melaporkan langsung dari Gaza.
Beroperasi di daerah dengan kebutuhan untuk bantuan kemanusiaan yang sangat besar dan sebanyak 43 persen populasi adalah pengangguran—yang 80 persennya adalah kaum muda—adalah tantangan besar.
Ribuan rumah hancur, infrastruktur yang rusak, sering terjadi pemadaman listrik dan blokade lanjutan tidak membuat hidup mudah bagi 1,8 juta penduduk di Gaza—salah satu yang paling padat penduduknya di dunia di kota otonomi ini.
“Kami menderita setiap hari, tapi kami tidak pernah kehilangan harapan,” kata Dr Issa Tarazi, direktur eksekutif dari Dewan Gereja Timur Dekat (Near East Council of Churches/NECC), bagian dari Departemen Pelayanan untuk Pengungsi Palestina (Department of Services to Palestinian Refugees/DSPR), yang merupakan departemen dalam Dewan Gereja Timur tengah (Middle East Council of Churches/MECC). Sekitar 100 staf terlibat dalam kegiatan NECC ini.
“Kendala utama di sini adalah tentu saja beroperasi di bawah pendudukan dan blokade,” Ia menambahkan.
Ketidakpastian konstan dan ketakutan menyerap kehidupan sehari-hari di Gaza. “Perang pada 2014 menghancurkan dan memperburuk situasi. Klinik kesehatan hancur dan 75.000 orang masih mengungsi,” kata Tarazi.
Setelah lebih dari 60 tahun dalam pelayanan, NECC telah mengembangkan basis yang kuat di Gaza dan telah menjadi salah satu penyedia utama dari perawatan kesehatan primer.
Koordinator program kesehatan Dr Wafa Kanan mengelola operasi komprehensif dengan 25.000 penerima manfaat individual setiap tahunnya.
“Kami menyediakan akses ke dokter, perawat, bidan, apoteker, pekerja psikososial, dokter gigi, dan spesialis kulit di pusat kesehatan masyarakat di seluruh wilayah. Pekerjaan kami terintegrasi dengan rumah sakit dan kami berkoordinasi dengan organisasi non-pemerintah lainnya, serta dengan Departemen Kesehatan, “ ia menjelaskan.
Namun demikian, peningkatan permintaan dan keterbatasan anggaran membutuhkan prioritas. Ibu dan anak diberikan perhatian khusus dengan fokus pada masalah medis dan dukungan psikososial untuk anak-anak dan ibu-ibu. Sebuah program screening telah menemukan bahwa 30 persen anak di bawah usia sekolah mengalami anemia dan 10 persen menderita gizi buruk.
“Pendidikan kesehatan, keluarga berencana, dan kunjungan ke rumah untuk mengetahui mengapa orang tidak datang ke dokter adalah langkah lain yang dirancang untuk memperbaiki situasi ini,” kata Kanan.
Makin banyak pasien telah meningkatkan beban kerja 35 petugas kesehatan NECC ini. Berkat sistem informasi kesehatan yang dikelola secara digital, waktu berharga dapat diselamatkan dan akses mudah ke data medis yang andal dijamin, menurut Kanan.
Karena situasi terus tak terduga di Gaza, persediaan obat-obatan dan alat kesehatan strategis enam bulan diperlukan.
NECC mengakui bahwa pembangunan berkelanjutan jangka panjang sangat tergantung pada pendidikan dan pekerjaan. Akibatnya, bagian penting dari pekerjaan berfokus pada pembangunan ekonomi. Program Kejuruan dan Pendidikan Pelatihan (TVET) memberikan pelatihan kejuruan tiga tahun di pertukangan/pembuatan furnitur dan pekerjaan pengelasan/logam, pelatihan dua tahun di listrik dan motor rewinding dan pelatihan satu tahun dalam garmen dan tugas sekretaris. Dua ratus siswa saat ini terdaftar dalam program ini.
“Tujuh puluh persen dari penduduk Palestina di Gaza berumur 14 – 30 tahun. Pendidikan merupakan faktor kunci untuk masa depan yang sejahtera,” kata koordinator program TVET Mahmoud Al - Halimi.
Untuk memenuhi mimpi itu, siswa secara aktif didorong untuk menyelesaikan pendidikan mereka dan 100 siswa tambahan ditargetkan untuk mendaftarkan diri secara tahunan.
“Kami menawarkan biaya mahasiswa sebesar US$ 100 (sekitar Rp 1,35 juta) dengan banyak subsidi. Sebab, biaya riil pendidikan adalah sebesar US$ 2.000 (sekitar Rp 27 juta) yang hanya mampu dijangkau sedikit siswa. Kami menjalin mitra dengan pemain di sektor ekonomi, serta organisasi non-pemerintah internasional, untuk mendukung pendidikan program dan kesempatan kerja yang mengikuti,” kata Al-Halimi.
Sekitar 1.200 orang Kristen tinggal di Gaza—sebuah minoritas kecil dalam populasi mencapai dua juta. Gereja Katolik dan Ortodoks menjalankan empat sekolah Kristen di daerah itu.
Mayoritas Muslim juga sama tercermin dalam staf NECC.
“Sejalan dengan nilai-nilai Kristiani, kami mempekerjakan orang dan memberikan pelayanan semata-mata atas dasar kebutuhan, tanpa memandang ras, warna, jenis kelamin atau afiliasi politik,” kata Tarazi.
Bersama dengan para rekan Palestina, ia berharap untuk perdamaian permanen lebih dari apa pun. (oikoumene.org)
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...