Gereja Katolik Bangkit Jadi Oposisi Paling Kuat di Filipina
MANILA, SATUHARAPAN.COM - Sejak Presiden Rodrigo Duterte berkuasa di Filipina tahun lalu, diperkirakan hampir 8.000 orang telah terbunuh dalam kekerasan yang dipicu oleh perang melawan narkoba. Kebanyakan yang terbunuh adalah laki-laki muda di lingkungan kumuh.
Uskup Katolik di negara itu telah menjadi pemimpin oposisi, dan tanda-tanda menunjukkan perjuangan mereka akan meningkat di masa depan.
Dalam laporannya yang terbaru, Crux, sebuah media yang mengulas berbagai isu perihal Katolik, menggambarkan Presiden Duterte merupakan pemimpin yang popular dengan elektabilitas mencapai 80 persen. Tak ada satu pun lawan politiknya yang bisa menandingi dan tampaknya Gereja Katolik di Filipina secara de facto, dengan cepat menjadi oposisi terkuat, bahkan mungkin bisa dikatakan satu-satunya oposisi.
Setelah pekan-pekan penuh perang terhadap narkoba yang membuat catatan baru untuk korban tewas --, dengan 81 tersangka kasus narkoba dibunuh semuanya, termasuk seorang anak laki-laki berusia 17 tahun -- uskup negara itu sekali lagi muncul sebagai kritikus presiden yang paling terang-terangan.
Uskup Jose Oliveros dari Malolos -- terletak di provinsi Bulacan sekitar tujuh mil sebelah utara Manila, di mana 32 dari 81 kematian tersebut terjadi pekan lalu -- secara langsung menyebut sebagian besar kasus kematian tersebut sebagai "pembunuhan ekstra-yudisial," terlepas dari kenyataan bahwa Duterte Dan pendukungnya dengan keras menolak penggunaan istilah itu.
"Kami semua prihatin dengan jumlah pembunuhan terkait narkoba di provinsi ini karena kebanyakan dari pembunuhan itu, jika tidak semua, merupakan pembunuhan ekstra-yudisial," kata Oliveros, dikutip dari laporan Crux.
Sebaliknya, Duterte pada Rabu lalu memancarkan kebanggaan atas tindakan keras di Bulacan, dan mengatakan, "Itu indah. Jika kita bisa membunuh 32 orang setiap hari, maka mungkin kita bisa mengurangi apa yang menjadi penyakit negara ini. "
Oliveros mengemukakan bahwa motif untuk berbagai pembunuhan tersebut mungkin hanya merupakan upaya untuk memberi apa yang diinginkan Duterte. "Kami tidak tahu motivasi polisi, mengapa mereka harus melakukan pembunuhan dalam satu hari ... mungkin untuk mengesankan presiden, yang menginginkan lebih," kata dia.
Sementara itu, Uskup Pablo Virgilio David dari Caloocan, sebuah kota yang merupakan bagian dari wilayah Manila yang lebih besar, membandingkan tindakan Duterte dengan pelanggaran hak asasi manusia dan otoritarianisme di bawah pemimpin kuat Ferdinand Marcos pada tahun 1970an dan 80-an.
"Selama masa Marcos, 'komunis' digunakan sebagai 'label dan justifikasi' untuk penculikan dan pembunuhan," kata David.
"Sekarang, ini adalah 'tersangka narkoba.' Saya tidak tahu ada hukum di masyarakat beradab mana pun yang mengatakan bahwa seseorang layak mati karena dia adalah 'tersangka narkoba'."
Caloocan kampung halaman seorang siswa SMA berusia 17 tahun bernama Kian Loyd Delos Santos, yang terbunuh di Manila pada hari Kamis malam sebagai bagian dari operasi anti-narkoba lainnya. Polisi awalnya mengklaim bahwa dia telah ditembak mati setelah melepaskan tembakan ke petugas, namun saksi melaporkan bahwa polisi memberikan sebuah senjata ke tangan Santos, kemudian memaksa dia untuk berlari sebelum menembaknya. Tiga petugas telah dibebastugaskan sementara karena insiden tersebut sambil menunggu penyelidikan.
David memperingatkan rekan-rekannya sesama rakyat Filipina, yang banyak di antaranya memuji pendekatan Duterte, bahwa giliran mereka bisa jadi yang berikutnya.
"Mungkin Anda terkejut menemukan nama Anda ada di dalam daftar pada hari-hari ini," kata dia. "Setiap orang bisa saja dimasukkan dalam daftar tersangka narkoba," lanjut dia.
David terpilih sebagai wakil ketua Konferensi Uskup Katolik di Filipina Juli lalu.
Editor : Eben E. Siadari
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...