Gereja Mendorong Pengawasan Perdagangan Senjata
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Para pemimpin dunia yang pekan lalu hadir dari (26/9) hingga (28/9) pada Sidang Majelis Umum PBB mengukuhkan dukungan dalam Arms Trade Treaty (Perjanjian Perdagangan Senjata) (ATT), sebuah perjanjian yang berkaitan dengan pengawasan perdagangan senjata, agar tidak ada serangan senjata kimia yang berbahaya.
Sesungguhnya perjanjian yang diprakarsai PBB ini turut dipromosikan oleh gereja, untuk membuat orang lebih aman melalui undang-undang baru dan melebihi resolusi yang diatur oleh PBB pada 2 April 2013, yakni saat PBB di bawah United Nations Office For Disarmament Affairs (UNODA) mengatur tentang ATT pada tahap pertama.
Peristiwa yang cukup menyita perhatian publik pada Jumat (27/9) silam saat Amerika Serikat, yang notabene dunia eksportir terbesar senjata ikut menandatangani perjanjian tersebut dalam versi yang terbaru selama sidang Majelis Umum PBB, September 24-26.
Gereja Melobi Negara-negara untuk Menandatangani Perjanjian Pembatasan Perdagangan Senjata
Dua puluh enam negara lainnya yang juga berpartisipasi dalam sidang umum PBB ikut menandatangani. Gereja telah melobi tujuh negara baru sehingga mereka tertarik untuk turut menandatangani penandatangan baru, termasuk Zambia, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Sierra Leone, Filipina dan Ghana.
Saat ini telah sebanyak 112 negara di dunia kini telah menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata tersebut hanya dalam waktu empat bulan setelah perjanjian ini diciptakan versi pertama kalinya pada 2 April 2013.
Pada periode itu juga WCC dengan gencar mengkampanyekan pembatasan senjata untuk memblokir penjualan senjata yang berisiko sedang digunakan untuk melakukan kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia.
WCC selaku persekutuan tertinggi gereja mendorong 50 negara lainnya yang ada di Sidang Majelis PBB untuk meratifikasi perjanjian itu dan membawanya ke jenjang implementasi.
Masalah kemanusiaan yang juga menonjol pada pertemuan tingkat tinggi PBB khusus. Pertemuan ini, dikhususkan untuk perlucutan senjata nuklir , bertemu pada 26 September. Sejumlah negara, sebagian besar negara Afrika dan Asia Tenggara yang hadir pada Sidang Majelis PBB berfokus pada dampak kemanusiaan senjata nuklir. Pemerintah dan salah satu utusan masyarakat sipil yang kebetulan hadir di menyerukan larangan langsung pada senjata nuklir, mengkritik inersia saat ini dalam perlucutan senjata yang dipimpin oleh negara-negara bersenjata nuklir dan menggema posisi inti dalam advokasi ekumenis.
“Saat ini senjata yang telah dilarang semakin menjadi dilihat sebagai tidak sah,” kata wakil dari Kampanye Internasional untuk Memusnahkan Senjata Nuklir. Beberapa negara menunjuk kecaman luas dari penggunaan senjata kimia di Suriah, beberapa wakil dari aktivis tersebut telah melarang namun dia mengatakan bahwa senjata nuklir secara luas dikutuk tetapi tidak dilarang. (un.org / oikoumene.org)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...