Gestob Tuntut Pencabutan IPL Bandara Kulonprogo
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Hari Bumi Internasional yang jatuh pada 22 April diperingati dengan aksi demonstrasi oleh massa yang menamakan diri sebagai Gerakan Solidaritas Tolak Bandara (Gestob). Dalam aksi yang diikuti oleh ratusan orang tersebut, Gestob menuntut pencabutan Izin Penempatan Lokasi (IPL) Bandara Kulonprogo.
Massa yang terlibat dalam aksi ini, seperti dari Social Movement Institute (SMI), Social Institute Forum, Warga Wahana Tri Tunggul WTT), dan berbagai elemen mahasiswa. Dalam aksinya, mereka melakukan longmarch dan orasi mulai dari Taman Parkir Abu Bakar Ali – Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) - Kantor Gubernur DIY – hingga Titik Nol Kilometer.
Menurut Arif (koordinator aksi), aksi ini digelar dengan tema “Selamatkan Bumi Yogyakarta. Cabut IPL Bandara Kulonprogo. Dalam aksi tersebut, Gestob akan menyampaikan 8 poin tuntutan, salah satunya adalah pembebasan empat petani di Kulonprogo yang dipidanakan (dipenjara) karena menolak megaproyek bandara.
“Kami dari Gestob pada Hari Bumi Internasional ini menyatakan sikap untuk menolak pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo,” tegas Arif.
Pernyataan Arif tersebut dilontarkan karena berbagai sebab yang terjadi seiring dengan proses pembangunan bandara di Kulonprogoro. Salah satu hal yang menjadi keprihatinan adalah proyek bandara tersebut akan menggusur puluhan ribu orang dan melenyapkan ratusan hektar lahan pertanian di Kulonprogo.
“Pembangunan bandara akan menggusur 2.875 kepala keluarga atau sekitar 11.501 jiwa. Selain itu juga melenyapkan permukiman, sawah, ladang, tempat ibadah, cagar budaya, sekolah, dan lain sebagainya,” jelas Arif.
Arif menambahkan bahwa banyak hal yang tidak masuk akal dalam megaproyek bandara tersebut. Salah satunya menyoal ganti rugi atau relokasi. Hal ini mengacu pada dokumen konsultasi publik yang diadakan oleh pihak PT. Angkasa Pura I dan Pemda Yogyakarta pada 5 Desember 2014 di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo.
“Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang akan direlokasi dari 5 desa hanya 472 KK (2.465 jiwa) dengan total luas lahan 58 hektar. Ini tidak masuk akal karena dari jumlah ganti rugi saja, PT. Angkasa Pura 1 membutuhkan lahan seluas 637 Hektar. Kenapa hanya memberikan ganti rugi 58 hektar saja? Lebih tidak masuk akal lagi, jika masyarakat yang direlokasi hanya berjumlah 472 KK, sementara data dari PT. Angkasa Pura I saja sebanyak 905 KK. Itupun baru melingkupi Desa Glagah saja, belum 5 desa lainnya,” jelas Arif.
Arif menilai bahwa apa yang terjadi saat ini di Kabupaten Kulonprogro adalah suatu kenyataan bahwa penguasa tidak lagi berpihak pada rakyat. Pembangunan bandara secara nyata telah menggusur petani beserta lahan dan kehidupannya. Oleh karena itu, Arif memberikan solusi untuk mengatasi keadaan, yaitu melaksanakan reformasi agraria dan nasionalisasi aset-aset vital di bawah kontrol rakyat.
Sebagai catatan, Kementrian Perhubungan (Kemenhub) pernah mengeluarkan IPL Bandara Kulonprogo pada 11 November 2013 dengan nomor 1164/2013. Disusul kemudian dengan penerbitan Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY pada 31 Maret 2015 dengan Nomor 68/KEP/2015. Penerbitan IPL tersebut menandakan bahwa proses pembebasan lahan untuk pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo segera dilakukan. Pembebasan lahan meliputi Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon.
Penerbitan IPL mempermudah langkah PT. Angkasa Pura 1 yang berkolaborasi dengan GVK Power (investor asal India) untuk mengambil-alih tanah rakyat. Kini, tampaknya tinggal menunggu waktu, penggusuran tanah akan dilakukan dengan alasan pembangunan bandara internasional.
Editor : Eben Ezer Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...