GKI Papua Cemas Jakarta Ciptakan Konflik Horizontal di Papua
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Gereja Kristen Injili di Tanah Papua mengungkapkan kekhawatiran bakal terjadinya konflik horizontal di Papua antara sesama rakyat Papua dan antara rakyat Papua dengan pendatang. Konflik itu terjadi oleh munculnya demonstrasi tandingan yang diciptakan oleh 'pasukan khusus,' untuk melawan aksi unjuk rasa masyarakat asli Papua yang melakukan aksi sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.
Hal ini terungkap dalam sebuah surat yang dikirimkan oleh Ketua Badan Pekerja Am Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Pdt Alberth Yoku S.Th, kepada World Council of Church (Dewan Gereja Dunia), World Reformed Church Organization, the Pacific Council of Church,the Uniting Church of Australia, The National Council of Churches in Australia, the United Evangelical Mission, the Maori Synod, Presbyterian Church of Aotearoa New Zealand the Christian Council of Asian dan PKN of Netherland.
Surat itu dikirimkan pada 14 Juni lalu dan salah satu yang menerimanya, the Uniting Church of Australia, telah menanggapinya dan menampilkan surat tersebut dalam situs resminya.
Adanya kemungkinan konflik horizontal, dalam surat itu digambarkan dengan fakta bahwa pada 2 Juni lalu terjadi unjuk rasa besar yang dilaksanakan oleh Barisan Rakyat Pembela NKRI (BARANKRI). Menurut surat itu, seorang perempuan bernama Hendrika Koweni, telah dipukuli oleh para demonstran ketika perempuan itu menanyakan mengapa mereka melakukan unjuk rasa.
Kendati unjuk rasa itu berusaha menciptakan kekerasan, menurut surat tersebut, para pemimpin dan rakyat Papua menyikapinya dengan damai.
"Apa yang kami alami saat ini adalah diciptakannya konflik horizontal antara orang Papua dan orang Papua serta antara orang Papua dan migran," tulis Alberth Yoku, pemimpin gereja yang merupakan anggota dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tersebut.
Menurutnya, saat ini tidak ada lagi kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah. "Mengapa pemerintah memaksa rakyat Papua menerima rencananya untuk memecahkan persoalan Papua dengan cara mereka, dan mengabaikan harapan orang Papua itu sendiri?" tanya dia.
Alberth membeberkan ada empat persoalan yang dihadapi oleh rakyat Papua.
Pertama, kebebasan berekspresi.
Kedua, monopoli sumber daya alam.
Ketiga, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Keempat, perdebatan sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Keempat hal ini menyebabkan meningkatkan tensi politik dan konflik horizontal," tulis Alberth.
Persoalan kebebasan berekspresi, ia contohkan dengan fakta ditangkapnya lebih dari 2000 orang pada 2 Mei lalu ketika mereka berunjuk rasa secara damai.
Ia juga mencatat tentang dilarangnya pers asing meliput situasi di Papua.
Persoalan monopoli sumber daya alam, menurut Alberth, tampak dari penguasaan pertambangan di Papua oleh perusahaan-perusahaan asing.
Sedangkan pelanggaran HAM, kata dia, terungkap dalam berbagai bentuk, mulai dari pembunuhan, penyiksaan, pembunuhan secara sengaja, pemerkosaan bahkan penculikan.
Ia mencontohkan pada 2 Juni lalu, sebuah mobil secara sengaja menabrak sekelompok remaja Papua asli yang sedang keluar dari gereja di Wamena. Seorang meninggal pada peristiwa itu dan lima orang terluka.
Pada 20 Mei, seorang aktivis perempuan, Robert Jimau dibunuh dalam situasi misterius dan tiga orang temannya terluka.
Ada pun tentang perdebatan sejarah mengenai integrasi Papua ke dalam NKRI, menurut dia ialah tentang pertanyaan bagaimana mungkin hanya 1027 orang saja dari total penduduk Papua yang 700.000 orang pada tahun 1969, yang diberi kesempatan untuk membuat pilihan.
Saat ini, kata Alberth, pemerintah Indonesia tengah melakukan lobi ke dunia internasional untuk memberi keyakinan bahwa mereka tengah melakukan pendekatan untuk memecahkan persoalan Papua.
Menurut dia, pemerintah Indonesia berusaha untuk mencegah negara-negara tetangga menyuarakan pelanggaran HAM di Papua dan menekankan bahwa ini persoalan dalam negeri belaka.
"Pemerintah Indonesia menyalahkan keterlibatan internasional. Ketimbang bekerja dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang merupakan lembaga independen di Indonesia, pemerintah membentuk timnya sendiri untuk menginvestigasi pelanggaran HAM di Indonesia," kata Alberth.
Menurut Alberth, bagi rakyat Papua ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius menangani persoalan Papua dan hanya ingin memperbaiki citra di dunia internasional dan melindungi kepentingannya sendiri.
"Apa yang kami inginkan adalah dialog damai, dimana hak-hak kami dihargai dan dijadikan pertimbangan, sehingga kami dapat hidup di tanah kami," tulis Alberth.
Di akhir suratnya, ia meminta kunjungan pastoral dari organisasi-organisasi gereja internasional yang ia surati itu.
"Kami menyerukan bantuan dan kunjungan pastoral," kata dia.
"Bawa lah kami dalam doa," tutup dia.
Gereja Kristen Injili di Tanah Papua adalah juga anggota Dewan Gereja Dunia.
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...