GKJ: Pemimpin Baru PGI Harus Berani Perbaiki Manajemen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) Pdt Andreas Untung Wiyono berharap kepemimpinan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) ke depan untuk terus memperbaiki manajemen aset lebih baik. Terutama dalam legal audit dan financial audit.
Menyambut Sidang Raya XVI PGI pada 11-17 November di Gunung Sitoli, Nias, satuharapan.com menghimpun berbagai pendapat dari jemaat-jemaat anggota tentang peran, tantangan, dan harapan terhadap organisasi yang menyatukan gereja-gereja aras nasional ini.
Andreas UW mengungkapkan bahwa peran PGI pasca-reformasi terus berkembang. Dimulai sejak kepemimpinan Pdt Nathan Setiabudi yang berusaha memperkuat PGI sebagai lembaga yang kuat di antara gereja-gereja anggota hingga era Pdt AA Yewangoe yang dengan kesederhanaan dan kelugasannya menjadi corong gereja di tengah berbagai dinamika kehidupan berbangsa di Indonesia.
Berikut adalah wawancara satuharapan.com dengan pendeta GKJ Tanjung Priok ini, Jumat (3/10).
Satuharapan.com: Apakah PGI masih on the track?
Andreas UW: Untuk menjawab ini, mari kita menengok dinamika PGI pasca-reformasi 1998. Pada era Pdt Nathan (2000-2005), PGI bersoal tentang keberadaan PGI itu sendiri. Tentang masalah internal. Bisa dikatakan pada masa itu PGI bercita-cita menjadi semacam superbody. Menuju gereja Kristen yang esa dan seragam. PGI menjadi satu lembaga yang kita dan menjadi payung dari sinode-sinode di Indonesia.
Pada era Pdt AA Yewangoe (2005-2014), PGI berusaha mewadahi keberagaman gereja-gereja. Dan, keseragaman tidak menjadi hal penting.
Namun, seiring dengan semangat reformasi—dan mengingat anggota PGI yang didominasi gereja-gereja Reformed—PGI harus mengubah dirinya dengan meletakkan fungsi dan tujuan PGI sesuai dengan tugas dan panggilan gereja. Yaitu, menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di masyarakat. Menurut saya, kalau ini dijalankan dengan baik, berarti PGI masih ada di jalur yang benar. Masih on the track.
Hanya, ada pertanyaan ditujukan pada PGI sebagai refleksi. Apakah ia sedang “menggarami” atau malah sedang “digarami” atau “diterangi” masyarakat yang saat ini sedang dinamis untuk mereformasi dirinya? Namun, jika pun jawabannya reformasi dalam diri PGI dipicu dari luar, itu tidak apa-apa. Yang penting, ada pembenahan diri dan on the track kembali.
Satuharapan.com: Jadi selama ini bagaimana peran PGI di tengah masyarakat?
Andreas UW: Peran PGI untuk menyuarakan semangat kenabian sudah dimulai pada era Pdt Nathan. Tapi, peran ini menjadi sangat kuat pada era Pdt AA Yewangoe. Kesederhanaan dan kelugasannya menjadi ciri khas dan ini mendorong PGI menempatkan diri secara pas dalam konteks kehidupan berbangsa.
Saya kira, surat-surat penggembalaan PGI pada era Pdt Yewangoe terkait dengan kondisi politik, atau isu diskriminasi, dan gerakan anti-korupsi sangat kuat spiritnya. Hanya, perjuangan PGI dalam masyarakat perlu lebih diperkuat pada masa depan. Tidak hanya politik, tetapi juga lingkungan. Saya lihat, PGI sudah mulai menyuarakan tentang isu-isu lingkungan, tetapi baru sebatas wacana. Juga, masih berada pada lingkup internal. Saya berharap suara kenabian PGI terkait dengan isu-isu lingkungan pada era mendatang dapat mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih sadar dan peduli.
Satuharapan.com: Selain itu tadi, apa tantangan pemimpin baru PGI?
Andreas UW: Spirit menjadi gereja yang ambil bagian dalam reformasi harus terus dikembangkan. Ada banyak produk undang-undang yang harus dikritik, itu menjadi salah satu yang perlu disuarakan oleh PGI.
Selain itu, PGI jangan lagi direpotkan dengan persoalan-persoalan internal. Memang, ke dalam PGI perlu berbenah diri. Namun, tetap harus fokus dengan tugas dan panggilan gereja: Menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.
Sebab, gereja menjadi bermakna jika tidak terjebak dengan masalah internal. Menurut saya, terjebak dalam masalah internal tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, jika kita menguatkan visi keluar, masalah internal akan ikut terselesaikan.
Satuharapan.com: Bagaimana dengan kepemimpinan baru PGI?
Andreas UW: Dalam sejarahnya, sinode GKJ tidak pernah mau ikut memperebutkan kursi kepemimpinan. Jika ada tokoh-tokoh GKJ yang kemudian dipercaya memimpin PGI atau lembaga ekumenis lainnya karena mereka mempunyai kapasitas dan kualitas sebagai pemimpin. Secara natural mereka punya itu.
Misalnya, Kadarmanto Hardjowasito (President of The Reformed Ecumenical Council), Judo Poerwowidagdo (President of the Asian Christian Art Association), Soetarno (Ketua DGI, Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Rektor UKSW), Supardan Ranutinojo dan Duta Pranowo (Sekretaris Umum LAI), Soelarso Sopater (Ketua Umum PGI), dan Probowinoto (salah satu pendiri Parkindo). Sekali lagi, mereka bukan orang-orang yang disiapkan khusus oleh sinode.
Jadi, tentang siapa Ketua PGI ke depan, bagi GKJ itu tidak terlalu penting. Kultur GKJ tabu untuk menyorong-nyorongkan diri. Namun, jika secara mekanisme harus menuliskan calon yang akan diajukan, sinode GKJ akan memilih orang-orang yang sebelumnya sudah diminta.
Satuharapan.com: Namun, GKJ pasti punya kriteria dong.
Andreas UW: Ya tentu. GKJ ingin kepemimpinan PGI ke depan lebih baik dan diisi oleh orang-orang yang punya kapasitas untuk memandu anggotanya ke depan.
Pada Sidang Raya XVI, GKJ akan mengutus Pdt (Em) Kadarmanto Hardjowasito (GKJ Jakarta), Pdt Retno Ratih (GKJ Manahan), Pdt Aris Widaryanto (GKJ Pangkalan Jati), Pdt Simon Julianto (GKJ Boyolali), dan Pdt Andreas Untung Wiyono (GKJ Tanjung Priok). Dengan dua suara yang kami miliki kami akan memilih pemimpin PGI yang memiliki tiga kriteria.
Pertama, pemimpin yang punya spiritualitas yang baik. Kalau dalam bahasa Jawa, Gusti Allahe cetha. Jika ia punya itu, tentu bukan kekuasaan—dan atribut-atribut yang mengikutinya—yang ia kejar.
Kedua, kami akan memilih orang yang menguasai manajerial. Sebab, ada berbagai hal yang harus dibenahi di dalam. Harus ada legal audit terkait aset-aset bermasalah yang dimiliki PGI. Juga ada financial audit yang transparan pada lembaga-lembaga di bawah naungan PGI, program-program PGI, dan operasional keseharian. Banyak yang membutuhkan penataan.
Ini adalah spirit yang dikehendaki pada alam reformasi. Manajemen administrasi dan keuangan harus transparan. Memang sang pemimpin tidak harus ahli—pendeta kan tidak dididik secara detail menangani manajemen aset—tetapi ia harus punya komitmen dan keberanian. Sehingga, pengurus PGI dapat segera menyelesaikan persoalan internal.
Sedangkan, kriteria ketiga adalah pemimpin baru PGI harus mampu membangun komunikasi secara intens dengan gereja-gereja anggota. Ini tidak mudah. Namun, komunikasi PGI dengan sinode anggota menjadi kunci menentukan yang membawa PGI menjadi wadah bersama di tengah bangsa.
Saya kira, orang yang punya pengalaman bergaul dengan gereja-gereja adalah orang yang tepat. Terus-terang saya tidak tahu siapa saja kandidatnya. Yang jelas, orang yang berpengalaman dalam menjalin komunikasi dengan gereja, punya kedekatan dan bisa merangkul adalah yang dibutuhkan PGI saat ini.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...