Golput dan Ajakan Golput
SATUHARAPAN.COM - Mendekati pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, sejumlah kalangan, baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pengamat hukum tata negara hingga pihak kepolisian, tiba-tiba lantang memperingatkan siapa pun yang berkampanye atau mengajak orang lain untuk golput, alias tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti, bakal dikenai sanksi pidana. Bahkan Badan Intelijen Negara (BIN) mendadak mulai sibuk menengarai sejumlah gerakan golput di kalangan yang mereka sebut “separatis”. Mereka mengacu Pasal 292 dan Pasal 308 UU No 8 Tahun 2012 yang menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta (lihat http://news.detik.com/read/2014/02/21/155946/2504927/10/ajak-orang-golput-diancam-pidana-3-tahun-ini-aturannya).
Kita perlu menyikapi wacana ini secara kritis. Memang, idealnya setiap warga negara menyambut pemilu dengan sukacita agar “pemilu sebagai pesta demokrasi” menemukan pembenarannya. Kalau kita bersukacita menyambut pemilu, maka logikanya kita pun akan ikut memberikan suara nanti. Sebaliknya kalau ada sejumlah orang yang memilih untuk tak memilih alias golput, itu berarti mereka tidak bersukacita menyambut pemilu. Mengapa? Jawabannya bermacam-macam: bisa karena malas, karena terkendala urusan administratif sehingga tak mendapatkan undangan untuk datang ke TPS di hari H, bisa juga karena apatis, dan alasan-alasan lainnya.
Khususnya mereka yang golput karena apatis, ini harus dipertanyakan: apakah mereka tak berharap adanya perubahan-perubahan positif pasca-pemilu? Kalau benar demikian maka jangan mereka yang disalahkan, sebaliknya justru elit-elit politik yang selama ini gemar korupsi, kinerjanya buruk, dan hanya peduli kepentingan partai dan urusan sendiri. Golput karena alasan ini justru harus dipandang sebagai sebentuk perlawanan politik bagi para penguasa yang nir-amanah.
Terlepas dari hal itu, golput sebenarnya merupakan hak. Artinya, karena memilih itu merupakan hak, maka tidak memilih pun merupakan hak juga. Karena memilih merupakan hak, maka tak ada sanksi apa pun yang bisa dan boleh dikenakan kepada orang-orang yang tidak memilih.
Hak itu sendiri berarti “kekuasaan, keistimewaan, kemampuan, atau tuntutan yang dimiliki oleh seseorang dan berkaitan dengan orang atau pihak lain” (Black, 1979). Atau, ia juga dapat didefinisikan sebagai “kekuasaan atau keistimewaan yang berjalan berdasarkan hukum” (Shafritz, 1988). Senada dengan itu Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan hak sebagai “kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu”. Jadi, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang bisa dituntut oleh seseorang dan dijamin dengan hukum. Sifatnya adalah opsional: bisa dan boleh dipakai, bisa dan boleh juga tidak dipakai.
Karena hak memilih sudah tertulis di dalam sebuah undang-undang, maka ia juga menjadi hukum positif yang terjamin secara hukum, sehingga orang yang bersangkutan tak bisa dianggap telah melakukan suatu pelanggaran jika tidak menggunakan haknya (sebagaimana halnya ia juga harus dilindungi hukum jika ingin menggunakan haknya).
Atas dasar itu maka tak ada satu pun pihak yang berwenang untuk mengatakan memilih merupakan kewajiban. Hal ini sangat logis, sebab secara hakiki tak mungkin hak dan kewajiban bisa bersatu atau berlaku secara bersamaan meski bisa saling berkaitan di dalam satu obyek.
Dalam UU tentang Pemilu, yakni UU No.10 Tahun 2008, disebutkan pada Pasal 19 ayat 1: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”. Lebih tinggi lagi, yaitu UUD 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga tercantum hal senada. Dalam Pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak memilih di sini termaktub dalam kata “bebas”, yang berarti bebas digunakan atau tidak digunakan.
Dari perspektif hukum jelas sekali bahwa memilih dan dipilih merupakan hak, kecuali bagi mereka yang terkena hukuman pidana lebih dari lima tahun atau terbukti tidak setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UU tentang HAM, yakni UU No. 39 Tahun 1999, disebutkan pada Pasal 43 sebagai berikut: “Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu”. Pernyataan serupa juga terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik, yaitu Pasal 25 yang berbunyi: “Hak setiap warga negara ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih”.
Berdasarkan itu maka dari perspektif hak asasi manusia (HAM), ancaman bagi mereka yang golput jelas merupakan pelanggaran HAM, yaitu hak untuk hidup tanpa rasa takut dan hak kebebasan berpendapat. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tak ada hukum apa pun yang menyebutkan mereka yang memilih untuk tak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu lantas tak boleh protes kepada penyelenggara negara.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan ajakan kepada pihak lain untuk golput? Karena golput juga merupakan hak, maka mengajak pihak lain untuk tidak menggunakan haknya juga merupakan hak alias boleh dan sah saja. Kecuali, tentu saja, kalau ajakan itu disertai ancaman dan atau paksaan. Terlepas dari kaitannya dengan hak memilih atau tidak memilih, apa pun jika disertai dengan ancaman dan atau paksaan jelas merupakan sesuatu yang melanggar hukum dan HAM. Sebab pada hakikatnya, hidup bebas dari ancaman maupun paksaan merupakan sebentuk HAM yang paling mendasar karena berkaitan langsung dengan harkat-martabat kemanusiaan.
Berdasarkan itu maka bukan saja golput, tapi juga ajakan untuk golput minus paksaan dan atau ancaman, harus disikapi secara bijak oleh semua pihak. Justru dengan itu nanti kita dapat mengevaluasi dan menilai lebih mendekati kebenaran, perihal sejauh mana pemilu dipercaya publik untuk membawa perubahan-perubahan yang positif.
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...