Golput, Sekali Lagi
SATUHARAPAN.COM - Saya hanya ibu rumah tangga biasa. Bukan pengamat, apalagi ahli politik. Namun ternyata berusaha menjalankan peran sebagai orangtua secara serius menghadapkan saya pada berbagai isu yang masuk juga ke ranah politik.
Contoh sederhana: ketika tiba waktunya menyekolahkan anak, pertanyaan yang muncul bukan hanya sekolah mana yang mampu kami akses, tetapi juga bakat dan kecerdasan apa yang ia miliki, metode pendidikan apa, guru macam apa yang ia butuhkan untuk mengaktulisasi potensinya, dan banyak lagi … Hingga bagaimana visi kami sendiri dihadapkan pada visi negara dalam sektor yang sangat fundamental ini.
Begitu juga ketika Nayya –putri satu-satunya yang diamanahkan kepada kami—sakit dan harus berobat. Bagaimana kesehatan warga dikelola negara, bagaimana akses ke pelayanan harus dirasakan oleh semua orang … Banyak sekali, kalau tidak boleh dibilang hampir semua aspek hidup kami, kita, tidak pernah terlepas dari politik yang dengannya negara dan bangsa ini dikelola.
Karena itu, buat saya pemilu adalah urusan serius karena kita memilih orang-orang yang akan mengurus hajat hidup kita bersama. Maka kami hampir selalu hadir di TPS pada saat pemilu – pilkada dan pemilu. Bahkan ketika sedang berada di Mekkah tahun 1992 bersama ibu, saya tetap antusias memberikan suara. Mungkin juga karena itu untuk pertama kalinya saya memilih.
Tapi baru-baru ini saya membuat status begini di akun Facebook:
Tahun 2009 saya masih berpendapat tak berpartisipasi dalam pemilu hanya dilakukan oleh mereka yang bermental penumpang gelap. Tidak bertanggungjawab, dan hanya mau mengritik padahal sesungguhnya tidak berhak. Sekecil apapun, suara satu orang tetap penting menentukan merah hitam negeri ini meski tidak secara resmi menjadi anggota partai tertentu.
Tapi itu dulu. Sekarang, ketika politik lebih banyak warna hitamnya, saya jadi terpikir lain. Ijtihad politik menjelang 2014 membawa pada kesimpulan, sekarang saatnya memilih warna putih, alias golput. Putih menjadi pilihan ketika merah, biru, kuning, hijau, paduan putih-hitam-kuning ... hampir semuanya mengecewakan. Maksimal biasa-biasa aja. Bahkan C kalau dikonversi sebagai nilai. Tidak rela kalau suara yang saya berikan menyumbang pada proses mengelamkan negeri indah ini ... Tapi saya juga tidak ingin menjadi penumpang gelap di negeri yang akan terus saya cintai ini.
Beberapa minggu setelah status yang banyak mengundang reaksi – kebanyakan pro—itu saya justru tidak bisa berhenti berpikir mengenai pilihan untuk tidak memilih alias golput. Mungkin karena melihat banyaknya teman yang sudah berancang-ancang untuk “pergi ke TPS hanya untuk merobek kertas suara”, mengutip salah seorang komentator.
Golput mungkin bisa disebut sebagai selemah-lemahnya iman, menurut ajaran agama yang saya anut. Kekuatan pengubahnya tidak melalui tangan atau lisan, tapi melalui diam. Saya lalu tergoda untuk bertanya lebih jauh: pantaskah “diam” dalam situasi serba bangkrut seperti sekarang ini? Bagaimanapun, kita ini bernafas, makan, minum, belajar, bekerja, menghidupi keluarga, di Tanah Air ini. Dan anak saya juga akan besar di sini, kecuali Tuhan menghendaki lain.
Kalau hanya sekadar tidak memilih (atau merusak kertas suara agar tidak dimanfaatkan oleh panitia pemilu yang kadang tidak netral), itu mudah. Tapi seperti pemberontakan petani yang diamati James C. Scott, pemberontakan kaum lemah itu seringnya tidak terorganisir, tidak bisa diduga kapan dan di mana akan muncul, dan karenanya sering tidak mendatangkan dampak yang cukup untuk mengubah.
Pada kasus golput, merusak kertas suara bisa dianalogikan dengan para buruh tani yang bermalas-malas melakukan perintah pemilik tanah, mencuri sedikit-sedikit hasil panen, berlambat-lambat ketika bekerja, melempar puntung rokok ke kebun tebu hingga terjadi kebakaran, atau mendiamkan saja traktor yang ngadat. Pendeknya apapun yang bisa dilakukan untuk menyabotase kepentingan pemilik sawah. Scott dengan sangat baik menggambarkan situasi ini dalam bukunya yang fenomenal, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasants Resistance yang terbit pertama tahun 1985.
Perlawanan para petani tak bertanah itu berada pada tataran individual, informal, anonim, dan hasilnya “marjinal” alias untuk kepuasan pribadi dan jangka pendek. Scott pergi lebih jauh dan melihat bahwa perlawanan dalam bentuk resistensi yang ditunjukkan oleh petani penggarap itu sebenarnya adalah sebuah simbol yang perlu dipahami artinya.
Demikian juga saya kira yang terjadi dengan golput. Golput itu seharusnya menjadi sebuah perlawanan simbolik bagi perjuangan mendapatkan kesetaraan, bukan hanya kesejahteraan. Golput tidak sekadar ingin eksistensinya diketahui dan diakui. Lebih dari itu, golput adalah protes keras atas keserakahan yang ditunjukkan para politikus dan partai-partai politik, yang merayu publik di pagi hari dan menelikung mereka di sore hari, segera setelah suara-suara mereka dipungut. Golput adalah ‘say no’ terhadap sistem yang hanya menjadikan partai-partai korup atau tidak dapat bertahan dalam persaingan kotor memperebutkan kursi di parlemen dan kabinet kelak.
Golput juga seharusnya menjadi politik penegasan diri, garis demarkasi yang memisahkan antara mereka yang bersikap pragmatis dan sekadar melakukan exercise kekuasaan, dengan mereka yang masih ingin berpegang pada nilai-nilai yang lurus, dan cita-cita kebangsaan yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar, termasuk menjadi antitesa dari sistem represif yang menekan kebebasan bersuara dan berkeyakinan. Ia adalah anak kandung dari sistem politik yang represif dan korup.
Golput hampir pasti tidak akan menggulingkan kekuasaan dan sistem yang dominan. Itu hanya pilihan yang kita ambil untuk sekadar menyelamatkan nurani dan kewarasan kita sendiri. Maka tak perlu juga terlalu meromantisir pilihan untuk golput, karena seharusnya itu hanya berfungsi sebagai langkah mula dari sebuah kerja yang lebih keras dan serius. Kalau saya benci dengan korupsi, saya harus mendidik anak dengan benar agar kelak ia tak tergoda korupsi. Bukan tugas gampang di tengah iklim yang subhat seperti sekarang. Seperti halnya kalau saya mengagumi Jokowi atau BJ Habibie. Adakah gunanya kagum pada sosok-sosok itu kalau saya sendiri tak tergerak meneladani dan hanya menceritakan kehebatan mereka pada anak saya?
Juga, kalau saya ingin negara ini memperlakukan warganya dengan setara, pertanyaan ujian untuk diri sendiri adalah sejauh mana saya bisa menerima orang lain yang berbeda keyakinan, pandangan politik, suku, dan sebagainya? Sekadar catatan lama: Menjadi pluralis tidak sekadar menerima kohabitasi, bahwa orang lain punya hak hidup yang sama di bumi yang satu ini. Menjadi pluralis juga berarti menerima eksistensi orang lain, koeksistensi. Di sini titik pangkal masalahnya. Karena untuk bisa ber-koeksistensi sempurna kita (atau lebih baik: saya), perlu terus-menerus melakukan rekonsiliasi antara nilai-nilai baru tersebut dengan nilai-nilai yang selama ini saya anut. Menerima tanpa menjadi lebur. Sayangnya sering kali saya terlalu malas untuk “menantang diri” seperti itu. Atau mungkin saya terlalu takut ya?
Menyingkirkan kemalasan dan ketakutan, itu semua pekerjaan rumah yang menumpul dan harus mulai saya selesaikan. Sembari menjawab pertanyaan yang makin lama makin banyak di kepala ini.
Penulis adalah ibu rumah tangga, banyak bekerja dengan remaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...