Gorila Grauer Terancam Punah karena Perang
KONGO, SATUHARAPAN.COM - Gorila grauer (Gorilla beringei graueri), kera terbesar dunia dari Afrika, terancam punah, dan secara paksa terusir dari habitatnya di Republik Demokratik Kongo. Terjadinya perang saudara di kawasan itu, juga maraknya perdagangan daging secara ilegal dan pertambangan ilegal, telah mempengaruhi keberadaan satwa liar tersebut.
Berdasarkan penelitian, jumlah kera besar terbesar di dunia ini menurun drastis dari populasi 17.000 pada tahun 1995 menjadi 3.800 pada tahun 2016 dan menurun sebanyak 77 persen dalam 20 tahun terakhir.
Wildlife Conservation Society (WCS) dalam sebuah laporan yang diterbitkan pekan ini, membenarkan status gorila grauer masuk kategori "terancam punah", pada daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan berharap segera melindungi gorila yang masih tersisa.
Gorila yang memiliki tinggi rata-rata 1,7 meter dan berat badannya 163 kilogram ini berasal dari dataran rendah sebelah timur Kongo, adalah yang terbesar dari empat subspesies gorila. Habitat alami mereka adalah dataran tinggi Kahuzi-Biega dan Taman Nasional Maiko, Republik Demokratik Kongo.
Joe Walston dari Wildlife Conservation Society mengatakan, habitat tidak lagi aman, karena pertempuran kronis yang melibatkan tentara dan banyak kelompok pemberontak.
"Dan itu juga telah mengakibatkan aktivitas tanpa hukum terjadi di seluruh wilayah, termasuk pertambangan rakyat, yang memiliki efek serius pada hutan dan pada manusia," kata Walston. "Keracunan air, terpaparnya bahan kimia pada hutan, mengakibatkan gorila grauer ini menjadi sangat menderita," katanya, seperti dikutip dari voanews.com.
"Penjaga hutan belum bisa beroperasi di hutan itu selama dua dekade terakhir," kata peneliti primata Liz Williamson dari University of Stirling.
Tim riset Kongo Kongo di New York University mengatakan, setidaknya ada 70 kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di Republik Demokratik Kongo, dan penduduk yang telah mengungsi berjumlah sekitar 1,6 juta orang.
Andrew Plumptre dari LSM yang bergerak di bidang konservasi, mengatakan penghapusan unit-unit bersenjata menjadi prioritas utama, dan wilayah populasi gorila yang menurun harus distabilkan.
"Kuncinya, kita inginkan agar Pemerintah Republik Demokratik Kongo melucuti kelompok pemberontak tersebut, dan memastikan agar mereka dibawa keluar dari daerah-daerah yang dilindungi," kata Plumptre.
Gorila grauer menjadi target bagi perburuan pemberontak, atau penambang liar, atau bahkan penduduk, diambil dagingnya untuk dimakan meskipun Pemerintah Kongo melarangnya.
"Pembunuhan terhadap gorila untuk diambil dagingnya, menjadikan populasi spesies ini terancam," katanya. Hal itu merugikan spesies-spesies dan konservasi secara umum, juga populasi manusia .
Bas Huijbregts dari World Wildlife Fund menguraikan rencana konservasi yang membantu gorila grauer untuk bertahan hidup.
“Yakni pertama-tama, melucuti senjata para penambang liar yang menetap di kawasan hutan lindung. Kedua, mengadakan pelatihan penjaga hutan, untuk melindungi gorila grauer. Ketiga, adalah untuk bekerja lebih erat dengan masyarakat yang tinggal di dekat gorila grauer, untuk menyediakan mereka peluang mata pencaharian alternatif, sehingga mereka tidak perlu berburu gorila. Dan, terakhir, mengusir penambang liar agar keluar dari daerah kawasan hutan lindung," kata Huijbregts.
Huijbregts dan konservasionis lainnya mengatakan, tanpa tindakan tersebut, satu-satunya gorila, yang mungkin masih dapat tersisa di masa depan, adalah di kebun binatang.
Editor : Sotyati
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...