Loading...
INDONESIA
Penulis: Francisca Christy Rosana 12:30 WIB | Kamis, 27 Agustus 2015

Grand Design Lalu Lintas Jakarta 2017

Ilustrasi bus Transjakarta. (Foto: Dok. Satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menghadapi masalah klasik, yakni kemacetan yang tak kunjung usai. Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, Andri Yansyah mengatakan, penyebab macetnya Jakarta dapat ditarik dari berbagai aspek, yakni pertumbuhan kendaraan yang tidak terkendali, ketersediaan dan penggunaan transportasi publik yang belum memadai, dan rendahnya disiplin lalu lintas. Tiga aspek ini membuat penggunaan ruang jalan di Jakarta menjadi tidak efektif dan tidak efisien.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari Dishubtrans, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di wilayah Jakarta dan kota mitranya seperti Bekasi, Bogor, Tangeran, dan Depok setiap tahun terus mengalami peningkatan. Pada 2011, jumlah kendaraan berkisar kurang lebih 7.979.983 unit. Selanjutnya pada 2012, jumlah kendaraan mengalami pertambahan menjadi 8.375.903 unit, sedangkan pada 2013 jumlah kendaraan mencapai 9.594.128 unit dengan rata-rata pertambahan sekitar 132.548 unit per bulan.

Melihat persoalan pertumbuhan jumlah kendaraan yang tak terkendali, pemerintah khawatir pada 2020 nanti, jalan akan penuh dan kemacetan tak dapat teratasi. Selanjutnya, pemerintah provinsi melalui Dinas Perhubungan dan Transportasi membentuk grand design untuk mengurai kemacetan.

Strategi Pembangunan Jangka menengah

Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Jakarta tahun 2013 – 2017, DKI tengah merencanakan sejumlah program. Program pertama ialah revitalisasi terminal bus antarkota dan dalam kota di 15 terminal di Jakarta. Revitalisasi ditargetkan selesai pada 2017.

“Kami ingin terminal-terminal di DKI betul-betul terminal yang bisa memberikan pelayanan kenyamanan dan keamanan. Untuk jangka pendek, kita lakukan revitalisasi di Terminal Pinang Ranti, Terminal Klender, dan Terminal Rawamangun. Terminal harus betul-betul didesain supaya bagus,” ujar Andri saat ditemui satuharapan.com di Kantornya, Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (27/8).

Sementara itu, Terminal Kampung Rambutan akan diusahakan dibangun mirip sistem seperti yang diterapkan di bandar udara. Selain agar dapat terorganisasi dengan baik, pembangunan sistem semacam ini dilakukan untuk menghindari penumpang dari calo.

Terminal lain, seperti terminal Rawa Buaya, Terminal Muara Angke, dan Terminal Merdeka akan disulap menjadi terminal terpadu. Dishubtrans bekerja sama dengan Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah DKI akan membangun rumah susun di atas terminal.

 “Jadi terpadu itu maksudnya ada buat tempat bus, lalu di atas terminal dibangun park and ride, di atasnya lagi ada kios, kemudian ada rumah susun. Tahun ini sudah dalam perencanaan dan 2016 dilaksanaan,” kata Andri.

Di bagian perencanaan yang lain, pemerintah juga tengah menargetkan pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) koridor satu, yakni dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI selesai. Serupa dengan MRT, Light Rail Transit (LRT) koridor satu dari Kemayoran hingga Blok M juga ditargetkan rampung pada 2017.

Selanjutnya, pemerintah mengupayakan pemenuhan kebutuhan armada busway. Pada 2017, sebanyak 1.298 bus SAB (Setara Articulated Bus) diadakan. Dengan jumlah tersebut, jumlah tunggu kendaraan atau headway diperkirakan hanya berkisar tiga menit.

“Ini semua untuk 12 koridor yang sudah ada dan tiga koridor yang direncanakan akan ditambah,” ujar Andri.

 Dalam perjalanannya, pemerinta mengupayakan, bus-bus miik swasta dan pribadi seperti Kopami, Kopaja, dan Metromini bergabung dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) yang mengelolanya. Integrasi Kopami dan Kopaja telah berhasil ditemukan kesepakatan antara pemerintah dan pengelola. Sementara, pemerintah masih dalam proses negosiasi dengan Metromini untuk menemui kesepakatan integrasi.

“Metromini dari dua pengelola yang ada di Jakarta nanti akan kita panggil untuk nego. Nantinya, kalau  sudah terintegrasi, jangan takut nama Metromini hilang. Penamaan tetap metromini, tapi bekerja sama dengan Transjakarta,” kata mantan Camat Jatinegara itu.

Kini Dishubtrans disebut-sebut tengah membuat memorendum of undertsanding (MoU). Setelah MoU jadi, poin perjanjian akan dirancang untuk membahas semua nilai kerja sama, baik kerja sama  model, ticketing, dan tap cash-nya. 

“Memang pertama (untuk mengupayakan integrasi, Red) agak susah,” Andri menambahkan.

Dalam mengintegrasikan Kopaja, Kopami, dan Metromini dengan Trasnjakarta, bus dijanjikan dapat langsung melayani penumpang tanpa harus melakukan transfer di terminal. Integrasi yang dilakukan ini mencakup integrasi sistem, integrasi fisik, dan integrasi pembayaran.

Nasib Angkutan Tak Terintegrasi

Banyak pihak mempertanyakan nasib angkutan tak terintegrasi seperti mikrolet bila nanti seluruh moda transportasi baru di Jakarta berhasil diwujudkan. Andri pun belum merencanakan adanya penggabungan mikrolet dengan BUMD. Menurutnya, integrasi sulit diakukan karena kepemilikannya tak menentu.

“Mikrolet belum ada rencana penggabungan. Yang penting untuk transportasi di jalan protokol dulu. Mikrolet untuk penghubung jalur busway, LRT, dan MRT nanti,” ujar Andri.

Namun demikian, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sekaligus dosen Universitas Gadjah Mada, Danang Parikesit mengatakan, armada mikrolet juga harus dikelola oleh pemerintah melalui sistem yang baik.

“Kepemilikan silakan saja, tapi pengelolan harus diatur PT Transjakarta,” ujar Danang saat dihubungi satuharapan.com melalui pesan singkat WhatsApp.

Janji ERP dan Realisasi yang Tarik-Ulur

Perwujudan penerapan sistem Electronic Road Pricing (ERP) hingga kini masih belum terealisasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta padahal telah menargetkan penerapan jalan berbayar ini berjalan sejak awal 2015. Namun hingga memasuki bulan ke delapan, ERP belum juga dapat dilakukan untuk menjadi salah satu solusi pengurai kemacetan.

Lambatnya penerapan ERP mencerminka ketidaksiapannya dalam merencanakan pembangunan dengan kajian yang matang. Hingga saat ini, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan penerapannya masih berkutat dengan sistem yang menjadi percontohan. Kabarnya, ERP akan mencontoh seperti yang diterapkan di Singapura. Namun saat ini, pemerintah nampak belum menemui kesepakatan. Bahkan, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang akan mengelola pun belum ditentukan.

Padahal, dalam RPJMD yang dipaparkan di Kepala Dishubtrans, ERP menjadi salah satu fokus program yang harus terealisasi pada 2017. Realisasi ERP direncanakan ditetapkan di tga kawasan jalan protokol dengan titik kemacetan tertinggi seperti Jalan Sudirman.

“ERP itu nanti akan semuanya efektif tatkala LRT, MRT jalan, busway bagus dengan armada yang banyak dan berkualitas, baru di situ ada pemaksaa warga untuk menggunakan penggunaan angkutan massal. Terutama untuk jalur yang sudah disiapkan armada.  Sekarang tetap dilaksanakan, tapi percontohan dulu di Sudirman,” ujar Andri.

Janji Penggelontoran Dana PSO

Untuk mewujudkan rupa Jakarta pada 2017 yang dicita-citakan akan mengalami penurunan tingkat kemacetan sekitar 30 persen dari jumlah kemacetan saat ini, Pemerintah DKI menurut Andri rela menggelontorkan dana public service obligation (PSO) secara maksimal.

“Yang jelas untuk busway, revitalisasi kendaraan, penyeberangan laut, itu semua sudah dikenakan PSO. Ini instruksi Pak Gubernur,” ujar Andri sembari menunjukkan pesan singkat yang dikirim oleh Ahok kepadanya.

PSO tahun ini yang diberikan oleh pemerintah sebelumnya ialah Rp 940 miliar dalam APBD 2015. Pad anggaran 2016 nanti, PSO ini dijanjikan akan ditambah, sesuai kebutuhan. Bila armada transportasi massal bertambah banyak PSO pun akan bertambah besar. Masing-masing kepala disubsidi sekitar Rp 6.000 dalam setiap perjalanan. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home