Greenpeace: Batubara Bersih Adalah Mitos
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Greenpeace menyatakan komoditas batubara bersih sebagai sumber energi bagi masyarakat adalah mitos, sehingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut juga menyesalkan peletakan batu pertama PLTU Batang oleh Presiden Joko Widodo.
"Batubara bersih hanyalah mitos belaka," kata Pemimpin Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (6/10).
Menurut Arif, proyek PLTU Batang sudah melewatkan tiga tahun tenggat waktu, yang diperlukan untuk persetujuan batas waktu penutupan keuangan (financial closing) yakni pada tanggal 6 Oktober 2012, 6 Oktober 2013, dan 6 Oktober 2014.
Greenpeace juga menyesalkan peletakan batu pertama, untuk proyek PLTU Batang yang berlangsung pada 28 Agustus 2015 lalu.
"Pembangkit listrik batubara ini akan menghancurkan kawasan konservasi laut yang dilindungi -melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008, menghancurkan lahan subur sedikitnya di lima desa yang mengandalkan pertanian, mencemari perairan nelayan kaya ikan, mengancam mata pencaharian lebih dari 10.000 nelayan skala kecil," katanya.
Ia juga mengingatkan, rencana pembangunan telah tertunda selama hampir empat tahun, karena perlawanan yang gigih dari penduduk desa yang tinggal dekat lokasi proyek tersebut.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan, kondisi perlambatan ekonomi yang dirasakan secara nasional pada saat ini, sebenarnya merupakan momentum yang tepat, untuk mengurangi penggunaan batubara dalam program kelistrikan di Tanah Air.
"Ekonomi melambat, saat tepat bagi Pemerintah kurangi batubara, dalam rencana listrik 35.000 MW," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan.
Menurut dia, karena itu pelambatan ekonomi menjadi momen tepat untuk melakukan konservasi sumber daya alam, bukan justru mengeksploitasinya secara besar-besaran.
Hal itu, katanya dapat dilakukan dengan mengembangkan energi terbarukan semakin tepat, karena biaya lingkungan dan sosial dari energi fosil, seperti batubara dinilai justru akan makin memperlambat ekonomi itu sendiri.
Apalagi, ia mengemukakan, perlambatan ekonomi yang sedang terjadi pada saat ini juga telah tercermin dalam konsumsi batubara PLN, yang diperkirakan pada tahun 2015 ini hanya 61 juta ton dari target 91 juta ton.
Sementara itu, peneliti Unit Kajian Walhi Pius Ginting, menyatakan saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah, guna melakukan perubahan atas program listrik 35.000 MW.
"Program tersebut didominasi pembangkit listrik menggunakan batubara, di Pulau Jawa, yakni sebanyak 12.400 MW. Sementara itu, di luar Pulau Jawa, banyak mengalami krisis, Sumatera Utara dan Aceh kekurangan listrik sebanyak 9 persen," kata Pius.
Ia mengingatkan, tingkat permintaan pertumbuhan listrik selalu lebih tinggi di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan di Pulau Jawa.
Apalagi, lanjutnya, saat ini listrik Pulau Jawa, telah memiliki cadangan sebesar 31 persen, sehingga tidak terdapat alasan melakukan pemaksaan pembangunan listrik batubara di Pulau Jawa, seperti yang terjadi di Batang, Jawa Tengah. Demikian juga proyek listrik lainnya yang menggusur warga, seperti proyek Jati Gede.
Sementara itu, kata dia, di sekitar daerah pembangkit yang menggunakan batubara di Jawa, masyarakat dinilai menderita dampak negatif dari kegiatan batubara, di antaranya penurunan produktivitas pertanian, hilangnya tangkapan nelayan, dan penurunan kualitas kesehatan.(Ant)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...