Grup Salim Akuisisi Bank Ina
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kelompok bisnis Salim kembali ke bisnis perbankan sejak krisis keuangan Asia 1998 dengan mengakuisisi Bank Ina Perdana.
Nikkei Asian Review melaporkan, melalui berbagai entitas terafiliasi, kelompok tersebut membeli setidaknya 51 persen saham Bank Ina lewat pemilikan saham baru yang diterbitkan oleh bank yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tersebut.
Bank Ina memiliki 22 cabang di Jawa dengan aset Rp 2,3 triliun per Desember 2016. Nilai akuisisi ini diperkirakan mencapai Ro 570 miliar rupiah (US$ 42 juta).
Salim mengambil alih Bank Central Asia (BCA) pada tahun 1970an dan mengembangkannya menjadi bank swasta terbesar di Indonesia, didukung oleh kebijakan deregulasi di bawah Presiden Suharto, yang memiliki hubungan dekat dengan pendiri kelompok itu, Sudono Salim. Namun setelah kepemilikan bank itu beralih kepada pemerintah setelah krisis keuangan Asia, kelompok tersebut fokus membangun kembali operasinya yang lain, terutama melalui perusahaan makanan utama, Indofood Sukses Makmur. Kelompok ini menanamkan saham di berbagai bidang industri, seperti di bidang ritel, otomotif, telekomunikasi, infrastruktur dan sektor lainnya di seluruh Indonesia dan Filipina.
Dalam beberapa tahun terakhir, boom smartphone telah menciptakan gelombang baru permintaan untuk layanan keuangan seperti pembayaran elektronik dan pinjaman peer-to-peer. Salim memutuskan bahwa mengoperasikan bank sendiri dan membangun tulang punggung keuangan akan sangat penting untuk menjalankan bisnis digital end-to-end, yang telah dikembangkannya sejak 2013.
"Masuk akal bagi kita untuk kembali fokus pada perbankan karena transaksi yang dilakukan oleh bank menjadi cukup besar," kata seorang eksekutif Salim.
Konglomerat tersebut kemungkinan menyasar pemain-pemain kecil karena ingin terjun ke bisnis ke perbankan digital tanpa menghabiskan banyak uang. Mengembangkan layanan digital di bank-bank besar memerlukan risiko mengurangi jumlah karyawan dan cabang, menurut seseorang yang akrab dengan strategi Salim. Kelompok ini tetap menjadi salah satu nasabah terbesar BCA, yang saat ini dimiliki oleh konglomerat lokal lainnya.
Anthoni Salim, CEO grup tersebut, memiliki saham dalam jumlah kecil di BCA Asia namun tidak terlibat dalam pengelolaannya.
Salim akan mulai menguji layanan baru secara internal untuk 500.000 karyawannya pada paruh kedua tahun 2017. Uji coba akan melibatkan Bank Ina dan berbagai perusahaan Grup Salim, termasuk Indomaret, sebuah jaringan toko dengan 14.000 outlet di seluruh negeri. Uji coba ini akan menggunakan teknologi pengenalan sidik jari yang dikembangkan oleh perusahaan patungan antara Salim dan Liquid yang berbasis di Tokyo. Dalam satu kasus uji coba, karyawan Salim akan membuka rekening bank di Bank Ina dan membayar barang di Indomaret menggunakan pembaca sidik jari yang terhubung dengan rekening mereka.
Kelompok ini juga menyasar transfer uang dan pinjaman antar pengguna dengan menggunakan toko Indomaret sebagai cabang bank. Edy Kuntardjo, presiden Bank Ina, mengatakan bahwa bank tersebut mengharapkan akan menggelar beberapa layanan ini pada tahun 2018, sesuai dengan persetujuan peraturan. Bank Ina saat ini sedang membenahi sistem core banking mereka dengan tujuan memperbaiki proses transaksi yang dilakukan di toko Indomaret.
Kembalinya Salim ke perbankan mengikuti tren yang lebih luas di mana kelompok-kelompok terbesar di Indonesia bergerak kembali ke sektor ini setelah pulih dari krisis keuangan. Sebelumnya, Grup Lippo yang telah kehilangan Bank Lippo dan kemudian fokus pada properti dan bisnis eceran, pada 2010 mengakuisisi Bank Nationalnobu.
Grup Sinar Mas mengakuisisi sebuah bank lokal pada 2015 dan mengganti namanya menjadi Bank Sinarmas.
Editor : Eben E. Siadari
Lebanon Usir Pulang 70 Perwira dan Tentara ke Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebanon mengusir sekitar 70 perwira dan tentara Suriah pada hari Sabtu (27/1...