Habib Hassan Al-Attas: Keteguhan Iman karena Belajar
Pertemuan saya dengan Habib Al-Attas ini membuktikan bahwa agama yang vital dan iman yang teguh justru mungkin kalau penganutnya terus belajar.
SATUHARAPAN.COM – Saya amat terkesan dengan Habib Al-Attas, Imam mesjid Ba’alwie Singapura, saat menemuinya awal Juli 2017 ini. Dengan terbuka ia menerima kami, rombongan lintasiman dari Indonesia yang melawat beliau sambil merayakan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Singapura.
Segera ia membawa kami berkeliling mesjidnya, dan menunjukkan kepelbagaian cenderamata dan bahkan Alquran yang ia terima dari berbagai pemimpin negara. Termasuk pemberian presiden Turki, Erdogan. Yang luar biasa, ia juga menyimpan teko pengolahan kopi, yang ditaruhnya di bawah rak Alquran. Menurutnya biji kopi bermula dari Etiopia, namun setelah leluhurnya para sufi dari Yaman melihat efek menyegarkan kopi, maka berkembanglah pengolahan biji kopi di sana. Seorang tentara Austria lantas memperkenalkan minuman ini ke Eropa, lalu menyebar ke seluruh dunia.
Saya pun lantas menimpalinya, ”Kaisar Jerman pernah mengharamkan orang minum kopi, takut bangsanya berhenti minum bir.” Setelah tertawa, ia sontak menjawab, ”Bahkan imam dari Al-Azhar Mesir pun pernah melarang, walau akhirnya membolehkan kopi jadi minuman saat belajar agama”.
Namun, yang mengejutkan saya, ia mengeluarkan dari perpustakaan mesjidnya, Alkitab yang diterbitkan pada 1700, dan membacakannya!
Dalam percakapan—yang juga diperdalam oleh seorang menteri senior Singapura, Mohamad Maliki Osman—dirumuskannya bahwa iman yang mantap, confidence of faith, memang datang dari kemampuan mengolah banyak ihwal kehidupan, dan menghubungkannya dengan sumber-sumber mendasar agama. Tanpa rasa takut dan was-was, tetapi dengan kejernihan hati rela diperkaya oleh soal-soal yang terjadi di dunia ini, lalu secara dialogis menghubungkan semua itu dengan khazanah keislaman. Rumusan ini begitu tepat untuk sosok imam Mesjid Habib Al-attas tersebut.
Saya jadi teringat perdebatan Gus Dur dahulu dengan Samuel Huntington, penulis buku Clash of Civilization itu. Huntington membuat skenario mengerikan tentang peradaban yang akan berbenturan penuh konflik berdarah di perbatasan-perbatasannya. Tetapi, Gus Dur mengatakan bahwa yang terjadi antara Islam dan Barat adalah proses bertukar ilmu dan saling belajar.
Pertemuan saya dengan Habib Al-Attas ini membuktikan bahwa agama yang vital dan iman yang teguh justru mungkin kalau penganutnya terus belajar. Kalau ada niat dan keberanian memasuki soal-soal dunia mutakhir yang sekuler sekali pun. Dengan jalan inilah agama bisa mencegah fundamentalisme atau pun radikalisme merebak di dalam tubuhnya.
Sepulang dari mesjid itu, saya merasa tidak sendiri dan makin teranglah bagi saya: iman justru akan terasa masih berdetak melalui ikhtiar umatnya menyelami soal-soal keilmuan yang telah menciptakan dunia modern yang kompleks ini. Bukan dengan menolak semua hasil pemikiran Pencerahan yang telah membangun dunia kontemporer kita ini. Dan kiranya di tengah itu semua—setelah masuk dan bergulat di dalamnya—orang beragama mampu memperdengarkan apa yang diyakininya sebagai suara Tuhan, selirih apa pun hal itu akan terdengar.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...