Hanya Memberi Tak Harap Kembali
Pengalaman kehilangan ibu membuat banyak orang merasa bagai ”sungai kehilangan muara”.
SATUHARAPAN.COM – Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia.
Siapa yang tidak kenal lagu ini? Meskipun syairnya tidak panjang, namun sudah memberi gambaran tentang kasih seorang ibu. Sosok ibu senantiasa digambarkan sebagai pribadi yang kaya dengan cinta kepada keluarga. Melalui didikan seorang ibu, pengetahuan dasar tentang cinta kasih, kehangatan, keindahan, kepedulian ditumbuhkembangkan. Dalam keseharian sosok ibu juga diharapkan siap melayani kebutuhan anak dan suaminya sepanjang hari.
Karena itulah, kehadiran ibu sangat berarti bagi peradaban manusia. Bukankan semua manusia yang terlahir di dunia ini tidak lepas dari bentukan seorang ibu? Melalui rahim seorang ibu, setiap individu terlahir di dunia ini. Melalui asuhannya, anak-anak mengenal tentang kehidupan. Sehingga wajar kalau ibu juga menjadi role model bagi banyak individu. Dari ibu yang kuat dan hebat terlahirlah sosok-sosok yang kuat dan hebat juga.
Hampir semua orang mengamini arti penting kehadiran seorang ibu. Bahkan ada ungkapan: ”Surga ada di telapak kaki ibu.” Ketidakhadiran ibu dalam keluarga dan masyarakat menjadikan suasana terasa hambar. Pengalaman kehilangan ibu membuat banyak orang merasa bagai ”sungai kehilangan muara”. Pernyataan ini hendak mengungkapkan bahwa ibu, meski juga tak lepas dari kekurangan, sering menjadi tempat pelarian ketika ada persoalan.
Hanya sayang seribu sayang, cinta kasih ibu yang tak terhingga sering kali direduksi sedemikian rupa. Identitasnya sebagai perempuan hilang ketika dia menikah. Ani yang menikah dengan Joko tidak lagi disapa ”Bu Ani”, tetapi ”Bu Joko”.
Tak hanya itu, kelemahlebutannya acap disalahartikan oleh anggota keluarga yang lain. Tidak jarang kita mendengar dan melihat anak yang berani dengan ibunya, anak yang menghina ibunya maupun anak yang menelantarkan ibunya di usia senja. Padahal orang bijak mengungkapkan: ”Seseorang tidak akan bisa disebut berhasil selama dia belum bisa mencintai ibunya.”
Keprihatinan lain tentang nasib para ibu adalah meningkatnya jumlah kekerasan terhadap istri dari tahun ke tahun. Kekerasan dalam berbagai bentuk baik itu fisik, psikis, ekonomi, seksual. Inilah potret yang terjadi di tengah masyarakat kita. Di satu sisi merindukan kehadiran sosok ibu, tetapi di sisi lain membuat hati ibu berduka. Seperti inikah cara kita membalas ibu yang kasih sayangnya begitu tak terhingga?
Besok, 22 Desember, adalah hari ibu. Sudah 55 tahun bangsa Indonesia memperingati hari ibu sejak ditetapkan Presiden Soekarno dalam Dekrit Presiden No 316 tahun 1959. Namun, perjuangan untuk menempatkan ibu dengan identitas yang otentik masih harus dilanjutkan. Hal itu harus kita mulai dari rumah kita.
Selamat Hari Ibu!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...