Harga Minyak Pernah Merosot Sampai US$ 10 Per Barel
VIENNA, SATUHARAPAN.COM – Harga minyak dunia yang dewasa ini sudah berada di bawah US$ 70 per barel membuat orang bertanya sampai sejauh mana penurunan harga akan berlangsung. Akankah terjun bebas ke tingkat yang lebih parah yang membawa dunia kepada resesi ekonomi yang berat?
Daniel Yergin dalam tulisan kolomnya berjudul The Global Shakeout From Plunging Oil di harian The Wall Street Journal, hari ini, mengatakan, kemerosotan harga seperti yang sekarang sebetulnya bukan yang terburuk. Pada pertengahan tahun 1980, harga minyak pernah merosot sampai US$ 10 per barel akibat melonjaknya pasok minyak dari Alaska dan Meksiko.
Menurut penulis buku The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World” (Penguin Press, 2012) itu, di pertengahan tahun 1980 tersebut Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) menghadapi krisis yang jauh lebih berat daripada yang terjadi sekarang. Permintaan minyak global turun lebih dari dua juta barel per hari akibat depresi yang parah di masa itu.
Faktor lain yang menyebabkan permintaan turun ketika itu adalah upaya konservasi besar-besaran dan semakin gencarnya pengalihan sumber energi ke listrik dan batubara.
Saat ini, tulis Yergin, permintaan minyak dunia masih tumbuh tetapi lemah. Meskipun demikian, vice chairman IHS Inc ini memperkirakan penurunan harga minyak dunia masih akan berlanjut.
Banjir Pasok
Banjir pasok minyak dunia yang mengarah pada jatuhnya harga seperti sekarang, menurut Yergin, sudah berulang kali terjadi. Pada awal tahun 1930-an, banjir minyak dari Texas Timur telah membuat harga minyak turun 10 sen per barel. Para pemilik SPBU di AS sampai-sampai harus menawarkan ayam goreng sebagai pemanis untuk menarik pelanggan.
Pada tahun 1950-an, membanjirnya pasok minyak dari Timur Tengah juga telah mendorong jatuhnya harga minyak dunia, yang memicu terbentuknya OPEC dalam upaya mengendalikan harga.
Dalam tiga tahun terakhir, harga minyak dunia berada di level yang tinggi, US$ 100 per barel. Ini terjadi karena tersendatnya pasok minyak sebagai konsekuensi dari kekacauan di Libya, Sudan Selatan serta sanksi ekspor Iran.
Gangguan terhadap pasok ini sebetulnya mendapat perimbangan dari peningkatan produksi minyak dari Amerika Serikat dan Kanada. Namun, pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat semakin tampak jelas beberapa bulan lalu. Dan itu diiringi dengan melemahnya permintaan minyak. Apalagi pasok minyak Libya tiba-tiba meningkat sampai empat kali lipat, mencapai 1 juta barel per hari.
Harga pun melemah dan anjlok parah September lalu.
Peta Pasar Berubah
Keputusan negara-negara anggota OPEC Kamis lalu untuk tidak memotong produksi merupakan cermin perubahan pasar minyak dunia. Permintaan minyak –dari China dan negara-negara emerging market – bukan lagi faktor dominan penentu harga seperti sebelum ini. Yang lebih menentukan adalah melonjaknya produksi minyak AS, diperkuat oleh tambahan pasok dari Kanada.
Skala lonjakan produksi ini samasekali tidak diantisipasi oleh sebagian besar negara eksportir, termasuk OPEC. Gejolak harga yang ditandai dengan penurunan yang tidak terduga selama beberapa hari terakhir, menurut Yergin, kemungkinan besar masih berlanjut.
Sejak 2008, produksi minyak AS telah naik 80 persen menjadi 9 juta barel per hari. Peningkatan produksi minyak AS ini lebih besar dari produksi negara eksportir minyak anggota OPEC mana pun kecuali Arab Saudi.
Awalnya cukup luas pendapat yang mengatakan harga keekonomian minyak di AS adalah US$85-90 per barel. Namun, analisis IHS terbaru memperkirakan, harga keekonomian minyak AS dapat lebih rendah, antara US$50-US$ 69 per barel. Ini berarti pasok minyak dari AS masih berlangsung paling tidak sampai 2015.
Siapa jadi Korban?
Keputusan negara-negara OPEC pekan lalu yang tidak mau memotong produksi merupakan cermin dari kekhawatiran akan kehilangan pangsa pasar. Oleh karena itu, OPEC menyerahkan penentuan harga pada mekanisme pasar.
Dapat diduga, penurunan harga masih akan berlanjut, mengingat pasok minyak masih akan terus betambah.
Yang paling menderita apabila terjadi penurunan harga minyak dunia yang berlanjut adalah negara-negara yang mengandalkan penerimaan negaranya pada minyak. Negara seperti Venezuela yang 65 persen penerimaan negara berasal dari ekspor minyak akan paling terpukul.
Iran juga diperkirakan akan kena karena setengah dari penerimaan negaranya berasal dari ekspor minyak. Sebelum ini Iran sudah terkena sanksi ekspor. Penurunan harga minyak ini akan memperpanjang masa resesi di negara ini.
Rusia, yang sebanyak 40 persen penerimaan negaranya berasal dari ekspor minyak, sebelumnya telah menyiapkan cadangan devisa yang besar mengantisipasi penurunan harga. Namun karena ekonomi negara ini sangat tergantung pada impor (termasuk makanan dan barang konsumsi), negara ini pun diperkirakan akan mengalami resesi.
Dampak lain dari penurunan harga yang berkelanjutan, adalah kemungkinan berkurangnya investasi terhadap penambangan minyak. Menurut Yergin, negara-negara yang dewasa ini berusaha keras mengundang investor masuk ke proyek-proyek sumber minyak dan gas baru, mungkin harus kecewa karena peminat akan lebih rendah dari yang diperkirakan. Indonesia tampaknya termasuk ke dalam kelompok ini.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...