Hari Bumi: Aktivis dan Pakar Lingkungan Desak Pemerintah Terapkan Kebijakan Progresif
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Hari Bumi diperingati di seluruh dunia pada Rabu 22 April, sebagai upaya terpadu untuk menyelamatkan planet ini. Namun, pandemi virus corona justru sebaliknya membuat bumi yang memaksa warga dunia menyelamatkan diri dan menghentikan aktivitas termasuk melepas emisi karbon yang membahayakan bumi. Di Indonesia, pemerhati dan penggiat lingkungan mengingatkan langkah-langkah negara untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi ini masih panjang.
Pemanasan global masih menjadi fokus perhatian global dalam peringatan Hari Bumi tahun ini.
Indonesia sebagai salah satu dari 186 negara di dunia yang menandatangan Perjanjian Iklim Paris, berkewajiban dan sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi gasnya ke atmosfer menjelang target yang dicanangkan PBB pada tahun 2030.
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia mengatakan, upaya pemerintah Indonesia masih jauh dari target penurunan emisi karbon agar bumi tidak memanas lebih dari 1,5 derajat celsius. Ia memperingatkan dampak kerugian besar jika pemerintah tidak melakukan kebijakan politik yang tepat.
"Jadi kita mendorong pemeritah mempunyai target yang lebih ambisius untuk emisi karbonnya sekaligus mempunyai kebijakan-kebijakan yang progresif di sektor kehutanan, juga energi untuk mewujudkan emisi karbon yang lebih ambisius itu," katanya.
Meskipun Indonesia memiliki hutan tropis yang berperan penting mengurangi pemanasan global dalam menghambat pelepasan karbon, rencana deforestasi pemerintah merupakan ancaman besar bagi kontribusinya mengurangi pemanasan global.
"Dalam deforestasi terencana 10 tahun ke depan, 3,25 juta hektare hutan lagi (oleh pemerintah) mau dikurangi, atau 325 ribu hektare per tahun. Itu harus tidak ada lagi. Kita tidak boleh mengurangi hutan yang tersisa sekarang. Kalau itu bisa kita hentikan atau pemerintah membatalkannya, kita akan berada dalam jalur tepat terobosan progresif seperti yang saya katakan tadi,” kata Leonard.
Indonesia, juga dipandang bisa mencapai sasaran iklim global dengan menerapkan penggunaan energi terbarukan secara besar-besaran, menggantikan energi pembangkit listrik baru bara.
Di sisi pencemaran lingkungan, mantan ketua Walhi Jawa Barat dan staf ahli Gubernur Jawa Barat dari Gugus Tugas Citarum, Taufan Suranto, yang bertugas mengawasi polusi dan kerusakan sungai terpanjang di Jawa Barat, menambahkan pemerintah perlu menindak pelaku pencemaran industri bukan hanya orang-orang tingkat pelaksana atau industri kecil.
"Kita tahu pencemaran berasal dari industri-industri besar, tentunya yang beberapa ditopang oleh modal-modal yang berskala kecil. Modal besar yang ada di Citarum ini kebanyakan juga modal-modal dari luar. Contohlah merek brand tekstil terkenal, semuanya punya pabrik di DAS Citarum yang notabene mencemari," kata Taufik.
Walaupun upaya pemerintah masih harus ditingkatkan Taufik Suranto juga menyambut langkah pemerintah yang mengarah pada kebijakan kampung-kampung iklim yang dilaksanakan di seluruh Indonesia, dan memulai ekonomi yang berwawasan lingkungan.
"Saya lihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah pemerintah selama lima tahun ke depan oleh Bappenas, ada yang digarisbawahi, menerapkan konsep yang berhubungan dengan pembangunan rendah karbon dan ekonomi yang berwawasan lingkungan,” katanya.
Konsep ini dipandang positif, karena sangat berpengaruh, mengingat sumber daya alam Indonesia dan dampaknya yang luas bagi kehidupan rakyat. Kini tinggal bagaimana konsep ini diterapkan agar menjadi tulang punggung perekonomian negara. (voaindonesia.com)
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...