Harimau Sumatera Tersisa 400 Ekor saja
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Populasi harimau Sumatera (Pantera tigris sumatrae) tersisa kurang dari 400 ekor individu, dan mereka diperkirakan masih bertahan di alam liar. Namun ancaman terhadap keberadaan satwa ini terus terjadi.
Penelitian dari Virginia Tech dan World Wildlife Fund (WWF) dalam situs resmi guardian.co.uk telah meneliti populasi harimau ini dengan menggunakan kamera tersembunyi di area yang belum pernah disurvei sebelumnya termasuk kawasan lahan gambut. Di beberapa area kepadatan populasi harimau ini hanya satu dalam setiap jarak 40 mil persegi.
Sumatera telah kehilangan 36 persen hutan alaminya antara tahun 1990 sampai 2010, sebagaimana data yang dilaporkan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bekerja di bidang lingkungan hidup di Sumatera.
Sesuai data pada 1970-an, populasi harimau Sumatera masih sekitar seribu ekor. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Borner melalui survei kuisioner pada 1978.
Kemudian pada 1985 dua peneliti asing, yakni Santiapilia dan Ramono mencatat ada sekitar 800 ekor harimau Sumatera yang ada di pulau Sumatera yang tersebar pada 26 kawasan lindung.
Sedangkan pada 1992, Tilson et AL memperkirakan antara 400 hingga 500 ekor harimau Sumatera yang hidup di lima taman nasional dan dua kawasan hutan lindung Sumatera.
Angka-angka tersebut secara langsung tidak dapat dijadikan acuan, karena penelitian tersebut dilakukan dengan metode dan lokasi yang berbeda, akan tetapi cukup memberikan gambaran atas terancam punahnya harimau Sumatera di Indonesia.
Indonesia sudah mengalami kepunahan dua sub spesies harimau, yaitu harimau Bali yang punah pada tahun 1937 sementara itu harimau Jawa pada pengamatan terakhir yang terjadi tahun 1970-an.
Penelitian yang juga dipublikasikan di jurnal Oryx ini menemukan bahwa aktivitas manusia yang membatasi keberlangsungan hidup harimau. “Kami yakin berkurangnya harimau Sumatra sebagai hasil dari aktivitas manusia yang semakin meningkat, contohnya pertanian, perburuan, penangkapan, maupun pengumpulan hasil-hasil hutan,” kata Sunarto selaku ketua penelitian dari WWF Indonesia.
“Kami menemukan sedikit populasi harimau di area-area ini, karena ada banyak sekali hewan-hewan yang menjadi mangsanya.” Lebih luas lagi, area habitat harimau Sumatera telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri pulp dan kertas.
National Geographic pernah menyiarkan tayangan pada ABC Nightline yang memperlihatkan serangan harimau pada manusia tahun 2009, dan mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi. Berdasarkan aktivis konservasi, John Walston, Eksekutif Direktur Lembaga Konservasi Satwa liar Amerika (WCS) untuk program Asia, harimau yang lapar akan secara spontan menyerang manusia karena sudah putus asa atas berkurangnya tempat yang menjadi rumah dan hewan-hewan mangsanya.
Hasil ini mengindikasikan pentingnya mempertahankan harimau sebagai predator utama untuk menjaga hutan.
Editor : Sabar Subekti
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...