Hassan: Penyelenggaraan Konferensi atas Instruksi Presiden
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan menteri luar negeri Hassan Wirajuda mengaku bahwa penyelenggaraan sejumlah konferensi internasional di Departemen Luar Negeri (Deplu) pada periode 2004-2005 merupakan instruksi presiden saat itu.
“Saya menolak disebut melakukan arahan agar Deplu melakukan swakelola, karena yang swakelola hanya berkaitan dengan fungsi-fungsi diplomatik. Saya hanya menyampaikan setiap ada instruksi presiden mengadakan konferensi, saya berikan arahan untuk pelaksanaan konferensi dan membentuk panitia-panitia, “ kata Hassan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (28/5).
Hassan menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan 12 kegiatan pertemuan dan sidang internasional di Deplu dengan terdakwa mantan sekretaris jenderal Sudjadnan Parnohadiningrat
“Sejumlah konferensi yang diadakan dalam waktu yang pendek, misalnya konferensi tsunami tujuh hari, lalu ada konferensi tingkat tinggi 18 hari, dalam waktu tujuh hari atau 21 hari atau kurang dari tiga bulan apakah memungkinkan untuk proses lelang? Tapi bila situasi kedaruratan memungkinkan,” tambah Hassan.
Hassan yang dalam perkara itu juga disebut menerima total 440 juta dari 11 konferensi sebagai uang lelah, mengaku bahwa ia tidak mengikuti proses administrasi dari penyelenggaraan konferensi tersebut.
“Mengenai penunjukan langsung atau tidak, Pak Sekjen yang lebih tahu sedangkan pihak yang bertanggung jawab secara substansi dan administrasi logistik adalah ketua panitia yaitu yang bertanggung jawab tentang gagal, lancar, berhasilnya sidang (konferensi),” ungkap Hassan.
Namun hasil audit Inspektorat Jenderal (Itjen) Deplu pada 2007 menunjukkan bahwa konferensi-konferensi internasional periode 2004-2005 itu sendiri menyimpang dan menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 1,6 miliar.
“Tindak lanjut dari audit adalah sesuai dengan UU mereka yang bersalah diberikan sanksi, beberapa dari mereka antara lain kedua saksi yang dihadirkan termasuk pergantian dan sanksi jabatan, saya baru tahu ada indikasi itu dari hasil Irjen” jelas Hassan yang juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden tersebut.
Dua saksi yang hadir adalah mantan Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka dan mantan Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Biro Keuangan I Gusti Putu Adnyana.
Namun hakim anggota I Made Hendra mencecar Hassan siapa yang bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan konferensi-konferensi tersebut.
“Siapa penanggung jawab penyelenggaraan?” tanya hakim Made Hendra.
“Masing-masing konferensi bertanggung jawab ke ketua penyelenggara, tanggung jawab substansi ke saya, kalau administrasi ke kepala biro keuangan,” jawab Hassan.
“Penanggung jawab kegiatan bukan terdakwa?” kejar Made Hendra.
“Tidak, karena sekjen juga adalah ketua sidang untuk `Senior Official Meeting`, sekjen penanggung jawab keuangan dan juga substansi,” jelas Hassan.
“Tapi dari 17 konferensi yang mana tanggung jawab terdakwa?” tanya Made Hendra.
“Di sana (konferensi), terdakwa bertanggung jawab untuk substansi, tapi pengelolaan keuangan adalah masing-masing unit yang notabene-nya adalah dua saksi ini,” jawab Hassan.
Padahal saat dikonfrontasi dengan Warsita Eka dan Gusti Putu Adnyana, keduanya mengatakan bahwa sekjen dalam konferensi juga bertanggung jawab dalam pengelolaan anggaran selaku kuasa pengguna anggaran.
“Berkaitan dengan keuangan, setiap selesai sidang selalu dilaporkan ke terdakwa biaya yang dikeluarkan, sesuai dengan perhitungan pengeluaran pihak ketiga,” kata Warsita.
Namun Hassan membantah hal itu. “Sekjen dan Menlu tahu (masalah keuangan) tapi tidak mendetail, yang dilaporkan umumnya lebih pada substansi,” katanya.
Sudjanan sendiri mengaku pernah dimintai oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufik Kiemas agar tetap menyelenggarakan konferensi International Conference of Islamic Scholar (ICIS) pada 23-26 Februari 2004 dengan waktu terbatas.
“Memang suasana kebatinan pada waktu itu adalah demi negara, ada urgensi penyelenggaraan ICIS,” tambah Hassan.
Dalam perkara ini, Sudjanan didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp 11 miliar dari 12 konferensi internasional karena melakukan penunjukan langsung professional convention organizer (PCO) tanpa melalui prosedur penunjukan yang semestinya maupun melaksanakan sendiri tanpa melalui prosedur swakelola yang semestinya dengan laporan pertanggungjawaban kegiatan seolah-olah menggunakan PCO.
Atas perbuatannya tersebut, Sudjanan didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...