Hasyim Muzadi: Politik Uang Menjauhkan Pemimpin dari Rakyat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hancurnya ekonomi, politik dan kebangsaan di Indonesia lebih disebabkan oleh terjadinya jual beli pemimpin (politik uang), sehingga ketika calon itu menjadi pemimpin, maka bisa dipastikan tidak ingat dengan rakyatnya.
“Karena sudah membeli,” kata KH Hasyim Muzadi, saat menyampaikan materi pada Bathsul Masail di tengah Rakernas dan Mukernas Muslimat NU, di Jakarta, Kamis (29/5).
Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), memilih pemimpin atau wakil rakyat menggunakan cara membayar itu sangat berbahaya. Dia mencontohkan ketika pemilihan legislatif lalu. Hasyim menyebutnya sebagai “pembelian umum” bukan “pemilihan umum.”
Terjadinya proses politik uang dalam pesta demokrasi, karena pemimpinnya tidak dikenal rakyat. Akhirnya calon pemimpin membeli. Karena berkali-kali dibayar, akhirnya pemimpim tersebut diangkat.
Hasyim Muzadi yang juga Sekretaris Jenderal International Conference Islamic Scholars (ICIS) / Konferensi Ulama dan Cendekiawan Muslim se-Dunia itu menegaskan bahwa politik uang bisa memutus hubungan rakyat dengan pemimpinnya. Dan pemimpin demikian tidak akan mampu bekerja dengan baik. “Maka berbuah kerusakan terhadap kepemimpinan kita,” tegasnya.
Ditambahkan lagi warga nahdliyyin juga akan mengalami keadaan jauh dengan kiainya. Akan ada penurunan karomah.
Tentang sistem ekonomi, Indonesia semestinya konsisten dengan konsep ekonomi kerakyatan. Sejauh ini sistem ekonomi kita tidak mendukung implementasi ekonomi kerakyatan. Kita harus memperbaiki ekonomi nasional tanpa menggoncangkan ekonomi global.
Menurut dia pemimpin harus diuji. Benar atau tidak kejujurannya. Keselamatan pemimpin hari ini diuji, bener atau tidak kejujurannya.
Titip NU
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj mengatakan pihaknya menitipkan NU kepada presiden terpilih agar diperhatikan. "Siapapun nanti yang menjadi presiden, saya titip NU," kata Said Aqil, pada acara pembukaan hari Rabu.
Menurut Said Aqil, warga NU hingga saat ini belum mendapat kemudahan dan perlakuan yang sama dibandingkan dengan warga negara yang lain. Misal, sama-sama pelajar, pelajar sekolah umum mendapat potongan harga ketika naik kendaraan umum, sementara murid pesantren atau santri membayar penuh.
Demikian juga dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang hanya diberikan kepada sekolah umum, sementara pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua tidak tersentuh bantuan itu.
"Pesantren tidak mendapat apa-apa, padahal pesantren sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka," kata dia.
Pada bagian lain Said Aqil mengatakan bahwa nasionalisme dan komitmen NU pada NKRI tidak diragukan lagi dan bagi NU persoalan hubungan antara negara dan agama sudah selesai.
Dikatakannya, nasionalisme dan keislaman sudah melebur dalam diri NU sehingga NU senantiasa tampil di barisan terdepan di dalam membela negara.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...