Hidup di Dalam Segala Kelimpahan
Berbagi yang tidak berdasarkan doa kemungkinan besar itu bukan memberi, tetapi membuang. Karena memberi, ini kata Ibu Teresa, berarti ada yang berkurang dalam diri kita yang membuat kita merasa sakit.
SATUHARAPAN.COM – ”Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:9-10).
Demikianlah Sabda Yesus kepada para murid-Nya. Dalam sabda tersebut, tegaslah bahwa Yesus adalah Sumber Hidup. Dan karena Yesus merupakan sumber, maka Dia mampu membagikan hidup itu kepada orang lain. Dan hidup itu bukanlah hidup biasa. melainkan hidup dalam segala kelimpahan. Nah, bagaimana menerapkan hidup berkelimpahan ini di tengah pandemi ini?.
Pertama, menghidupkan Mazmur 23:1 dalam diri kita sendiri—”Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”Kita harus mengembangkan sikap mental macam begini—takkan kekurangan aku. Mengapa? Karena Tuhan adalah gembala kita.
Kurang memang masalah perasaan. Karena itu perlu dilawan dengan logika. Logikanya: tak mungkin kekurangan karena Tuhan adalah gembala kita. Logika yang sama juga dipakai Fanny Crosby dalam Kidung Jemaat 408—”Di jalanku ’kudiiring oleh Yesus Tuhanku, apakah yang kurang lagi, jika Dia panduku.” Dan kita perlu melangkah lebih jauh, tak sekadar tak kekurangan, namun malah berkelimpahan. Sekali lagi karena Tuhanlah gembala kita.
Kedua, mari berbagi. Berbagi apa? Berbagi apa saja. Bisa berbagi doa? Ah, itu mah kecil, Pak! Kata siapa? Tidak, Berbagi doa berarti memakai sepatu orang yang kita doakan. Inilah yang dimaksud dengan empati—dalam bahasa Yunani en berarti dalam, pathos berarti penderitaan. Memakai sepatu orang lain berarti dalam penderitaan orang lain.
Dan ketika kita berbagi doa, kita baru bisa berbagi yang lainnya. Berbagi yang tidak berdasarkan doa kemungkinan besar itu bukan memberi, tetapi membuang. Karena memberi, ini kata Ibu Teresa, berarti ada yang berkurang dalam diri kita yang membuat kita merasa sakit.
Ada contoh kecil, yang saya dapatkan dari Bapak Dwihardjo Sutarto, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala. Seseorang mengirimkan pesan WhatsApp begini: ”Syalom, Sy Unang SG. Betul dg yayasan rawinala? Saya mendapat BC msg ttg anak disana yg kena covid. Mhn diterima sedikit dana dari saya ya Bu, blm bs banyak krn berbagi dg yg lain juga. Kebetulan sy jg baru di PHK, ini ada sedikit berkat Tuhan semoga bermanfaat buat sdr2 kita di sana.”
Saya rasa Pak Unang bergumul saat dia memberi. Saya rasa pergumulannya itu didasari dengan doa. Mungkin tidak lipat tangan tutup mata, namun saya agak yakin dia bergumul karena habis PHK. Inilah hidup berkelimpahan itu.
Ketiga, marilah kita selalu memikirkan apa yang dapat kita lakukan bagi orang lain. Jika ada nama yang melintas di benak kita, kita perlu bertanya apa yang dapat kita perbuat bagi dia? Kita bisa mendoakannya, kita bisa memberinya makanan, kita bisa memberikan uang, atau kita bisa mengirimkan pesan melalui WhatsApp.
Ketimbang meneruskan pesan yang enggak jelas, entah tentang kematian, atau kecelakaan, mending buat tulisan: ”Tuhan mengasihimu. Selamat berjuang!”
Banyak yang bisa kita lakukan untuk orang lain. Pertanyaannya, maukah kita?
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...