Hidup Mendengarkan
"Qui habet aures audiendi, audiat. Siapa yang memiliki telinga untuk mendengar, hendaknya dia juga mendengarkan"
SATUHARAPAN.COM - Sungguh besar dan akbar, agung dan adiluhung Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Karya agung ciptaanNya takterbandingkan dan tak mampu dirumuskan secara sempurna dengan kata-kata manusia fana yang amat terbatas.
Karya ciptaanNya mengatasi segala karya yang pernah ada; karya akbarNya tak ada bandingnya. Lihatlah manusia yang Ia ciptakan secara khusus dan istimewa, dan yang amat berbeda dengan makhluk lainnya.
Manusia memiliki fisik, pikiran, akal budi, perasaan dan berbagai kemampuan lainnya yang memungkinkan manusia bisa mengekspresikan dirinya secara optimal sesuai dengan tugas panggilannya sebagai manusia.
Salah satu kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia adalah 'mendengar'; dalam kaitan itu manusia memiliki telinga. Telinga, kuping sebagai alat pendengaran memiliki makna yang amat penting dan fundamental.
Pemimpin mendengar suara rakyatnya, guru mendengar suara muridnya, suami-istri, anak dan orangtua mesti hidup dengan saling mendengar. Keluarga Besar bangsa yang majemuk mesti saling mendengar. Dari mendengar kita memberikan simpati dan empati.
Di dalam Alkitab beberapa kali ditegaskan "siapa yang bertelinga hendaklah ia medengar".
Mendengar merupakan imperatif ilahi. Mendengar merupakan bagian integral dari kehidupan.
Sebagai umat beragama kita harus terbiasa mendengar suara dan lantunan Kitab Suci dari agama-agama, mendengar suara azan, mendengar kidung nyanyian Gereja, mendengar lantunan umat membaca Al Fatihah, Al Ikhlas dan bacaan keagamaan dari agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,Khonghucu, Bahai, Sikh yang ada di negeri ini.
Mendengar para sahabat dari Kepepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa menyampaikan hambatan yang mereka hadapi di lapangan. Mendengar suara para akademisi, para praktisi, para milenial, mereka yang berkebutuhan khusus. Ya, mendengar banyak hal dari banyak orang yang bisa membarui mindset kita, paradigma berfikir kita.
Prof Dr JL Ch Abineno teolog besar dari Kupang NTT, dalam kuliahnya di STT Jakarta tahun 70-an menyatakan agar para pendeta harus lebih banyak mendengar umatnya, jangan hanya berbicara saja. Dari mendengar itu pendeta bisa melakukan pelayanan dengan tepat dan relevan.
Mesti ada ruang dalam hati kita untuk mendengar dan menikmati khazanah spiritualitas bangsa kita tanpa harus menutup telinga dan atau menghakimi.
Mari mendengar dengan baik, termasuk suara suara yang tak mampu terucapkan yang meluap dari relung hati paling dalam dari the man in the street, dari orang-orang kecil yang terhina dan tertindas oleh trauma sejarah.
Di zaman kini kita juga harus lebih banyak mendengar: mendengar detak jantung, mendengar embusan napas, mendengar rintih lirih dari ruang isoman, mendengar keluhan nir suara dari ruang IGD, ICCU, HCU, mendengar mereka yang kehilangan pekerjaan, jerit tangis yang kehilangan suami dan anaknya yang dibunuh Covid atau hepatitis akut, mendengar nenek renta yang pingsan saat antri BLT, mendengar KPK mengejar DPO yang puluhan tahun di backing oleh oknum pejabat mendengar teroris yang merancang bom dari rumah petak, mendengar pikirqn jahat sebagian orang yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi NII.
Mendengar jeritan dari NTT, Flores, Sumba, Papua, Kalimantan
ya itu mendengar suara dari berbagai lorong tanpa kita harus menutup telinga.
Dari mendengar kita berempati, dari berempati kita bertindak menyatakan kasih kita kepada sesama tanpa mempertimbangkan apapun: SARA, ikatan primordial dan sebagainya.
Selamat Mendengar!
God Bless Us.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...